Karya itu banyak macamnya, ada yang terlihat, ada yang terasa, ada yang terlihat dan terasa. Lalu jika terjun ke Politik, karyanya dalam bentuk apa?
Politik selama ini lekat dengan hal-hal pragmatis, entah yang berkait kepentingan kekuasaan, jabatan, atau ekonomi. Karena itulah, selalu riuh dan ramai. Isu politik yang sering muncul ke media, kadang lebih dramatik dari sinetron paling dramatik yang pernah kita tonton.
Dalam kajian politik, kita mengenal istilah politik praktis. Politik yang secara tajam menuju jantung kekuasaan. Entah kekuasaan dalam konteks legislatif ataupun eksekutif. Namun kita juga mengenal istilah politik vertikal dan politik horisontal. Politik horisontal, adalah politik yang tidak secara langsung berkaitan dengan kekuasaan.
Selama ini kita mengira politik hanya terpusat pada arena Pilkada atau Pemilu. Itu memang yang terlihat, dan jelas arahnya. Makanya disebut praktis. Mereka yang akhirnya mendapatkan jabatan politik, akan memegang kekuasaan. Kekuasaan yang dipegang inilah yang harusnya menjadi karya besar.
Misalkan, memiliki jabatan sebagai Walikota atau Bupati, dia punya kesempatan mengelola APBD. Memang besaran tiap daerah tidak sama, bergantung pendapatan asli daerah tersebut, namun besaran APBD selalu lebih besar dari aset orang paling kaya di daerah itu.
Sebut saja dalam sebuah daerah, orang terkaya memiliki aset sekitar 100 milliar. Jumlah aset Pemkot atau Pemkab, beserta jumlah APBD, belum lagi dana diluar APBD, pasti jauh lebih besar.
Kekuasaan lain seperti misalkan menerbitkan ijin usaha. Bisa saja Pemda setempat menolak semua ijin usaha yang sudah dijalankan oleh BUMD, untuk meminimalisir persaingan. Sehingga BUMD setempat mendapatkan laba yang besar.
Punya posisi politik, apalagi sekelas pemimpin eksekutif, punya kesempatan besar mendistribusikan anggaran untuk kepentingan masyarakat, yang tidak mungkin terwakili individu berapapun aset kekayaannya.
Anggaran tersebut didistribusikan dalam berbagai program, yang tidak hanya untuk jangka pendek, namun jangka panjang, bersifat sistemik. Makanya, banyak sekali yang masuk dalam arena politik, mengingat begitu “basah’-nya lahan yang hendak digarap.
Kita bayangkan, andai politik dikuasahi oleh orang serakah, betapa besar kemungkinan kerusakan. Memang ada lembaga penegak hukum yang bisa menindak setiap kesalahan yang dilakukan pejabat publik, namun kemampuannya pun terbatas. Belum lagi bilamana, pucuk pimpinan lembaga penegak hukum tersebut punya hubungan mesra dengan yang lagi berkuasa.
Sebagai sebuah jabatan, berpolitik memungkinkan untuk berbuat banyak hal, dalam rangka kesejahteraan sosial. Meski godaannya besar, hantamannya pun juga besar, karena banyak yang menginginkannya. []
1 April 2017
A Fahrizal Aziz
Tags:
Senggang