Alm. Moeslim Abdurrahman |
Perjalanan Menulis (bag. 12)
Sebelum berakhirnya semester II, setidaknya ada dua acara diskusi akbar yang saya ikuti. Semuanya berlangsung bulan Mei 2010.
Pertama, diskusi panel bertema “fatwa haram merokok, manifestasi dalil terhadap fakta sosial”. Saya menjadi salah satu panitianya. Ada tiga pemateri, dua diantaranya dari NU dan Muhammadiyah. Dari NU, datang langsung ketua PCNU Kota Malang, Drs. KH. Marzuki Mustamar, M.Ag, yang ternyata juga orang Blitar. Dari Muhammadiyah, diwakili Majelis Tarjih, Dr. Syamsu Rizal Yazid, MA.
Kedua, bedah buku “Suara Tuhan Suara Pemerdekaan”, yang didatangi langsung oleh penulisnya, Dr. Moeslim Abdurrahman, MA atau yang akrab disapa Kang Moeslim. Beberapa buku Kang Moeslim saya tahu dari Cak Abdul Kholiq, senior di Organisasi sekaligus penulis, yang karyanya sudah masuk beberapa koran seperti Kompas, Sindo, Media Indonesia, Koran Pendidikan, dll.
Bedah buku tersebut diadakan oleh organisasi dimana Cak Abdul Kholiq menjadi ketuanya. Kedatangan Kang Moeslim menjadi spesial, karena beberapa bulan sebelum itu, buku “Suara Tuhan Suara Pemerdekaan” diresensi oleh Cak Kholiq dan dimuat di rubrik Pustaka Koran Kompas. Panelis bedah buku itu adalah Dr. H. Saad Ibrahim, MA yang sekarang menjadi Ketua PWM Jatim.
Buku Kang Moeslim pernah saya baca, diantaranya berjudul “Islam yang Memihak”. Judul itu saya pilih karena ukurannya kecil dibandingkan buku yang lain. Dalam setiap bukunya, Kang Moeslim dengan getol menyuarakan Islam Transformatif. Bagaimana Islam bisa menjadi tranformasi sosial. Artinya, Islam tidak hanya dinikmati secara ritual dan bathin, namun bisa melakukan perubahan esensial, semisal pengentasan kemiskinan.
Tahun itu saya masih kesusahaan dalam mencerna buku-buku Kang Moeslim. Ulasannya terlalu akademik, karena memang buku akademik. Namun bahasanya lincah. Beberapa kali saya harus membuka kamus ilmiah ketika menemui istilah asing. Bahkan untuk mengartikan kata “Transformatif” saja butuh waktu yang lumayan. Kata transform justru lebih familiar untuk film transformer, yang menceritakan robot-robot.
Dilain kesempatan saya juga membaca tulisan pendeknya di media massa, wawancara, atau ulasan orang lain atas buku karya Kang Moeslim. Waktu acara bedah buku, Kang Moeslim menyebut dirinya sebagai “Intelektual Jalanan”, artinya Intelektual yang memang tidak menetap di kampus. Kang Moeslim juga beralih dari Partai dan NGO. Selain mendirikan Al Maun Institute, juga pernah menjadi Direktur Maarif Institute di Jakarta.
Tulisan Kang Moeslim benar-benar memberikan perspektif baru dalam pemahaman keagamaan dalam diri saya. Kang Moeslim bisa disebut sedikit dari tokoh Indonesia yang memiliki pemikiran utuh, artinya, ada brand pemikiran yang melekat dalam dirinya, yaitu pejuang Islam Transformatif.
Beberapa tokoh yang punya Brand pemikiran lain, seperti Kuntowijoyo yang lekat dengan gagasan Islam Profetiknya, atau Nucholish Madjid dengan gagasan Pluralisme. Bisa mengikuti bedah buku yang langsung diisi oleh Kang Moeslim Abdurrahman tersebut merupakan sebuah “kemewahan” tersendiri.
Setelah itu saya menyadari, bahwa untuk menulis, selain diperlukan kemampuan teknis mengolah kata dan meletakkan tanda baca, juga perlu persepsi. Persepsi bisa dikais dari para tokoh yang tidak hanya memiliki wawasan luas, namun juga pengalaman.
Kang Moeslim sesungguhnya tidak hanya berteori, ia pun ingin mempraktekkan bagaimana keIslamannya mampu mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan. Salah satunya dengan mendirikan sebuah gerakan bernama “Sumbu Panguripan” di Dusun Wintaos, desa girimulyo, kecamatan panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Disana tingkat kemiskinan masih tinggi. Kang Moeslim dan beberapa anak muda, salah satunya Budi Asyari Afwan, membuat berbagai program agar kemiskinan tidak menjadi lingkaran setan. Salah satu caranya adalah dengan Pendidikan. Pendidikan baik formal maupun non formal. Anak yang biasanya hanya sekolah sampai SD, direkomendasikan untuk sekolah ke tingkat lanjutan.
Beberapa yang sampai lulus SMA/SMK melanjutkan kuliah, sebagian kerja, ada juga yang merantau ke luar Jawa. Pendidikan non formal antara lain bagaimana mengelola pertanian agar lebih produktif. Kang Moeslim benar-benar mengaplikasikan pemikirannya dalam bentuk nyata.
Secara kelembagaan, Kang Moeslim pernah menjadi ketua LPBTN (Lembaga pemberdayaan Buruh, Tani, dan Nelayan) PP Muhammadiyah. Meski disatu sisi, figurnya dekat dengan Gus Dur, bahkan menjadi salah satu dewan Syuro PKB, ketika Gus Dur menjadi ketuanya. Juga alumnus Pesantren Raudhatul Ilmiyyah Kertosono, Jombang yang diasuh oleh KH. Salim Akhyar, salah satu murid KH. Hasyim Asya’ri, pendiri NU.
Untuk mengaplikasikan teorinya di Gunung Kidul, Kang Moeslim sudah membeli tanah. Diatas tanah itu akan dibangun balai pertemuan, juga penginapan. Buku-bukunya dari Jakarta akan diboyong semuanya untuk dijadikan Perpustakaan disana. Tempat itu akan menjadi balai pelatihan transformatif, tempat menggodok ide untuk kemudian diaplikasikan ke masyarakat.
Kegiatan tersebut sekaligus mengisi masa pensiunnya. Tentu besar harapan Kang Moeslim agar sumbu panguripan bisa menjadi laboratorium aksi, serta Islam tidak hanya terhenti pada hal-hal ritual, namun juga secara langsung bisa mengatasi problem sosial. Karena kang Moeslim percaya, bahwa kemiskinan bisa menjerumuskan pada kekafiran.[1]
Niat mulia itu belum sepenuhnya bisa terwujud, Tuhan memanggil Kang Moeslim pada 6 Juli 2012, sekitar pukul 19.30 karena penyakit jantung dan diabetes. Bedah buku yang saya ikuti bulan mei 2010 tersebut merupakan acara bersejarah, karena bisa secara langsung melihat Kang Moeslim. Setelah itu, saya tidak akan mungkin lagi melihat beliau, kecuali hanya membaca gagasan-gagasan segarnya meski melewati berbagai zaman. []
Blitar, 18 Maret 2017
A Fahrizal Aziz
untuk membaca catatan perjalanan menulis lainnya, silahkan KLIK DISINI
Tags:
Feature