Perjalanan Menulis (bag. 22)




Menyusun Laporan Utama Majalah

 
wawancara rektor baru, Prof. Dr. Mudjia Rahardja
Terjadi perubahan struktrur pegawai. Pak Abdul Aziz dirotasi ke Bagian Akademik. Tak berselang lama, juga ada perubahan nomenklatur. Bagian Kemahasiswaan berganti menjadi Kemahasiswaan dan Alumni. Selain Kepala Kemahasiswaan, juga ada Kasubag (kepala sub bagian) Kemahasiswaan dan Kasubag Alumni.

Posisi Pak Aziz digantikan Pak Sabar. Untungnya, Pak Sabar adalah staf redaksi senior Majalah Suara Akademika. Sebelumnya, Pak Sabar adalah dosen PKPBI (Perkuliahan Khusus Bahasa Inggris). Pak Sabar masuk menjadi staf kemahasiswaan.

Meski demikian, posisi Pak Aziz dalam proses penerbitan Majalah Suara Akademika sangatlah dominan. Sehingga, dipindahkannya Pak Aziz, membuat staf redaksi harus bekerja keras.

Pak Aziz pindah sebelum tema “Islam dan Peradaban Alternatif” diterbitkan. Padahal sudah ada rekaman wawancara dengan para tokoh, yang belum diolah menjadi wawancara eksklusif. Selain itu, belum ada tokoh yang diwawancarai untuk laporan utama.

Saya yang mengusulkan tema tersebut, mendapatkan tugas menyusun laporan utama. Ini bukan hal mudah bagi saya waktu itu. Karena laporan utama minimal harus wawancara tiga tokoh dengan disiplin ilmu yang sesuai, atau minimal punya perhatian pada kajian Islam dan Perdaban.

Setelah rapat redaksi, dipilihkan tiga tokoh UIN Malang. Yaitu Rektor, Prof. Dr. Imam Suprayogo, Basri Zain, Ph.D (Dosen Pascasarjana), dan Istianah Abubakar, M.Ag (Dosen Sejarah Peradaban Islam).

Saya harus wawancara ketiganya, ditemani oleh wartawan yang lain. Khusus wawancara Bu Istianah, saya melakukannya sendirian, karena saat membuat janji wawancara, semua wartawan sedang sibuk, termasuk fotografer. Idealnya, setiap wawancara harus ada fotografer yang mengambil gambar. Jika kebetulan tidak ada foto wawancara, cukup menggantinya dengan foto narasumber.

Saat wawancara rektor, semestinya harus melakukan beberapa prosedur. Surat permohonan wawancara diajukan ke Bagian Umum untuk mendapatkan persetujuan, baru surat tersebut diajukan ke sekretaris rektor untuk disesuaikan dengan jadwal rektor. Maklum saja, sebagai pejabat, rektor tentu memiliki agenda yang padat.

Saya sudah mengajukan surat tersebut kepada pihak Bag. Umum, namun pihak bag. umum meminta saya mengkonfirmasi sekretaris rektor perihal tanggal kapan rektor bisa diwawancarai, baru pihak bag. Umum, yang memang bertugas mengarsipkan surat menyurat tersebut memberikan persetujuan.

Saat menemui sekretaris rektor, saya ditanya balik kapan tanggal yang diajukan untuk wawancara. Saya jawab menyesuaikan waktu rektor. Akhirnya, sekretaris pun memberikan beberapa alternatif waktu. Kami wawancara siang hari, selepas shalat Jum’at.

Saya lupa kembali ke Bag. Umum, sehingga saat menemui sekretaris rektor. Saya tidak membawa surat. Bahkan sekretaris bilang, wawancara sebenarnya bisa dilakukan selama rektor ada waktu, meski tidak ada janji sebelumnya.

Tidak semua pejabat bersikap demikian. Untung saja karena rektor UIN tidak terlalu prosedural untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan administratif. Karena ini lingkupnya masih dalam kampus, dan bukan hubungan antar dinas, maka surat menyurat tidak harus sesuai prosedur.

Saya masuk ke ruangan rektor yang megah bersama Diana Manzila, reporter Majalah Suara Akademika (kini menjadi reporter/kontributor NU Online) dan Andri Kurniawan, fotografer. Wawancara sesuai topik berlangsung sekitar 30 menit, namun perbincangan diluar itu membuat wawancara berlangsung lebih dari satu jam. []

Blitar, 27 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak