Bergabung ke Majalah Suara Akademika
Kepala editor Majalah Suara Akademika baru saja pulang dari Jakarta, dalam rangka wawancara tokoh. Wawancara kali ini, kata beliau, merupakan liputan maraton. Ada banyak tokoh yang ditemui, namun tidak semua bisa diwawancarai.
Saya mendapatkan rekaman wawancara tersebut. Tidak hanya dari tokoh dan pejabat, juga ada artis. Tiga artis yang berhasil diwawancarai : Marshanda, Dude Herlino, dan Okiana Setiadewi.
Sementara dari tokoh Islam antara lain, Prof. Dr. H. Azyumardi Azra, Prof. Dr. H. Nasarudiin, MA (yang sekarang Imam Besar Masjid Istiqlal), Prof. KH. Syukron Makmun, Prof. Dr. KH. Said Agil Siradj (Ketua Umum PBNU), Prof. Dr. Hj. Musda Mulia.
Selain itu, ada pula Pemimpin Tempo, Bambang Harimurti. Lalu, Anggota DPR Jamal Aziz, yang belakangan namanya masuk dalam perbincangan penerima dana panas E-KTP.
Sayangnya, Prof. Dr. H. Din Syamsudin, yang kala itu mejabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, tidak bisa diwawancarai karena bentrok jadwal dengan agenda yang lain. Padahal harapannya, wawancara akan dipanelkan dengan Ketua Umum PBNU.
Saya mendengarkan dengan seksama rekaman wawancara tersebut, juga melihat beberapa foto eksklusif yang dibidik fotografer. Dalam kunjungan ke Jakarta, Kepala editor mengajak dua orang, fotografer dan staf redaksi. Staf redaksi agak berbeda dengan reporter, karena tugasnya mengelola majalah, membuat tema, rubrik, melakukan liputan khusus, dan kadang kala mengedit.
Sejak dibuka lowongan menjadi Jurnalis di Majalah Suara Akademika, saya mendaftarkan diri sebagai staf redaksi. Bukan reporter. Kala itu hanya dibutuhkan 2 orang staf redaksi, dan 9 orang reporter.
Ada tiga tahapan seleksi. Seleksi pertama membuat tulisan bertema perwajahan media. Kedua, seleksi lapangan, yaitu ditugaskan mencari berita tanpa persiapan sebelumnya. Ketiga, wawancara. Ada 3 kali wawancara : di depan kepala editor, editor senior, dan Kepala Bagian Kemahasiswaan.
Kenapa dibedakan staf redaksi dan reporter? Seharusnya staf redaki termasuk diantaranya reporter, editor, layouter, dan fotografer. Namun sebagai Majalah non berita, Suara Akademika memiliki ciri khas tersendiri.
Majalah ini mengangkat satu tema besar setiap kali terbit. Tema itu kemudian diulas dalam liputan khusus, wawancara eksklusif, opini, dan esai. Untuk kolom esai, sementara diisi oleh kepala editor, Pak Abdul Aziz.
Rubrik lain adalah berita, namun berita hanya dibatasi pada kegiatan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Selain berita, ada juga Laporan Khusus (Lapsus). Biasanya itu untuk acara-acara momentual kampus, semisal kedatangan tokoh besar. Ada juga rubrik resensi di halaman terakhir.
Yang membuat salut, Suara Akademika berani memberikan honor bagi Mahasiswa atau Dosen yang menulis. Ada 8 halaman yang dikhususkan untuk opini. Satu lembarnya mendapatkan honor 100.000. Rata-rata opini dua lembar, sehingga honor minimal 200.000.
Kenapa ini patut diapresiasi? Bukan soal nominal sebenarnya, tapi bagaimana dana lembaga bisa dikelola untuk pengembangan skill menulis. Dari tiga media besar di kampus, hanya Suara Akademika yang menerima opini dan resensi, dan sekaligus memberikan honor atas karya tersebut.
Salah satu tugas staf redaksi adalah mengelola rubrik opini dan resensi. Juga melakukan wawancara khusus, serta mengolah liputan umum. Sementara tugas reporter adalah meliput kegiatan yang diadakan UKM, HMJ, sampai BEM. Fotografer tugasnya hanya menemai ketika ada tugas liputan.
Karena masuk menjadi staf redaksi, maka besar harapan saya bisa melakukan wawancara eksklusif keluar kota. Bukan untuk tujuan plesir, tapi bertemu tokoh besar yang sudah melahirkan karya-karya besar adalah sebuah cita-cita tersendiri. Meski saya sadar kala itu kemampuan wawancara saya masih paspasan. []
Blitar, 24 Maret 2017
Tags:
Perjalanan Menulis