Perjalanan Menulis (bag. 17)



Menulis Untuk Kampanye



Foto-foto para calon ketua bertebaran di mana-mana. Termasuk foto saya. Foto ala kadarnya, dengan jaket merah, tanpa kopyah. Calon-calon lain, umumnya melakukan sesi foto khusus, menggunakan jas rapi dan berkopyah.

Sebelum dicetak dan disebarkan, sebenarnya saya sempat ditelepon oleh pihak partai, diminta mengganti foto. Katanya tidak sopan, dan terlalu ideologis karena mengenakan jaket salah satu OMEK. Tapi saya tidak bersedia. Karena saya tidak tahu pasti apakah dipilihnya saya menjadi calon ketua HMJ, karena saya kader IMM, atau karena keaktifan saya di HMJ.

Dari semua divisi, divisi tempat saya berada memang berhasil menjalankan semua programnya. Tapi saya tidak yakin betul kalau itu menjadi sebab utama kenapa dari HMI meminta saya yang maju, sementara kader HMI yang satu HMJ dengan saya, maju dari Partai non OMEK.

Bisa saja saya dijadikan alat pemecah suara. Karenanya, saya tidak mau terlalu ngoyo untuk hal-hal yang bagi saya pribadi, kurang begitu esensial.

Selain kampanye yang dibuatkan oleh Partai, seperti mencetak pamflet dan baliho yang dipasang ke berbagai sudut kampus, saya juga membuat kampanye tersendiri, yaitu berupa selebaran yang mirip buletin.

Saya membuat tulisan reflektif tentang arti pentingnya HMJ bagi pendukung kegiatan akademik. Tulisan tersebut mendapatkan respon positif, meskipun untuk lingkup HMJ tidak diadakan debat kandidat. Bahkan secara pribadi ada sms yang menyatakan dukungan pada saya. Meskipun tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan agar memilih saya.

Tulisan yang saya buat itu mirip catatan ini. Isinya cerita, harapan-harapan, diselingi sedikit opini tentang pendidikan, dari teori-teori yang sudah kami pelajari di perkuliahan. Kata teman sekamar saya, yang juga mencalonkan diri sebagai ketua HMJ Fisika, tulisan itu bukan kampanye, melainkan curhat. Curhat tapi sedikit ilmiah.

Sehari sebelum pencoblosan, tensi politik memanas. Menurut pengurus dari Partai saya, PKDM telah melakukan pelanggaran di hari tenang, dengan menempelkan berbagai atribut yang berbau kampanye. Namun PKDM pun membantah, menurut mereka, pemasangan atribut itu sengaja dilakukan oknum untuk menjegal PKDM, yang kemungkinan menang besar dalam pemilu.

Dua belah pihak tidak ada yang mengalah. Sampai waktu pencoblosan, belum ada kebijakan dari KPU Kampus (namanya BP2R), juga belum ada respon dari Wakil rektor III yang mengurusi Kemahasiswaan.

Akhirnya terjadilah kerusuhan, sampai beberapa kali masuk stasiun televisi nasional. Pagi itu hape saya sudah penuh dengan ajakan boikot pemilu, serta aksi menuntut keadilan. Pagi hari, ketika hendak menuju lokasi pencoblosan, betapa kagetnya saya melihat bilik-bilik suara sudah rusak berserakan diamuk massa.

Sampai saya menghubungi pengurus partai, juga calon ketua DEMA U (Presma) dari partai kami, kenapa bisa terjadi hal demikian? Tentu timbul rasa sedih tersendiri, karena dalam berbagai perbincangan, pelaku dari kerusuhan tersebut adalah dari Partai pencerahan, yang didalamnya ada HMI, IMM, dan KAMMI.

Namun pihak kampus mengambil kebijakan, berapapun suara yang masuk, dihitung dan disahkan saja. Seingat saya, dari total 6.000-an mahasiswa yang punya hak suara, baru masuk 147. Sangat jauh dari kriteria ideal pemilu.

Dari total suara tersebut, hampir semua HMJ, BEM-F, dan tentu saja BEM-U dimenangkan oleh PKDM, partai milik PMII. Hal itu membuat pengurus Partai Pencerahan semakin murka dan terus melakukan aksi di depan rektorat, sampai membuat rektor pusing.

Waktu penetapan hasil pemilu, saya tidak datang. Karena saya tahu jikalau Faisal Haq dipastikan menang dan menjadi ketua HMJ kami.

Saya kemudian mengirimkan sms kepada rektor kala itu, Prof. Imam Suprayogo. Sms itu berisi ucapan minta maaf atas peristiwa pemira. Meski saya tidak terlibat, juga bukan pengurus partai, tapi saya maju dari partai yang menyebabkan kerusuhan tersebut. Selain itu saya juga menanyakan, kenapa pihak kampus sampai memutuskan hasil pemilu, sementara suara yang masuk baru 147?

Agak lama kemudian Prof. Imam menjawab, justru beliau memberikan pertanyaan balik. Apakah jika pemilu diulang, dari HMI akan bisa mengalahkan PMII?

Butuh sekitar sebulan untuk membuat suasana kembali stabil. Saya kira Faisal tidak akan mengundang saya untuk menjadi pengurus HMJ, karena saya lawan politiknya. Saya pun juga jarang ke kantor HMJ karena suasana politik yang ada, meskipun hubungan saya dengan pengurus HMJ masih baik-baik saja.

Beberapa pengurus HMJ yang menjadi anggota divisi, naik menjadi koordinator divisi. Setelah kisruh pemilu, nomenklatur atau nama struktur dirubah. Divisi berubah menjadi bidang. Koordinator divisi berubah menjadi kabid (ketua bidang). Divisi kepenulisan dan perbitan berubah nama menjadi Bidang Litbang (Penelitian dan Pengembangan). Ruang kerjanya masih sama, bahkan bertambah satu, yaitu penelitian.

Tak disangka ternyata nama saya muncul sebagai Kabid Litbang dalam rencana struktur kepengurusan di bawah ketua yang baru. Saya kemudian dimintai konfirmasi, dan menyatakan bersedia. Sejak saat itu, saya baru menyadari bahwa politik hanyalah alat. Berpulangnya tetap pada individu.

Saya kembali mendapatkan kesempatan mengelola media HMJ, bahkan harus menambah satu program lagi, yaitu penelitian. []

Blitar, 22 Maret 2017
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak