Penikmat, Pengamat dan Pengkritik


@fahrizalaziz

Tiap kali ada teman yang meminta saran, apakah karyanya layak dimuat ke media massa atau belum, kadang saya bingung sendiri menjawabnya. Memang kita bisa membaca sekilas kriteria media massa, tapi otoritas penuh tetap berada pada “penjaga gawang” rubrik tersebut.

Pernah juga ada yang bertanya, apakah cerpennya layak dimuat ke harian Kompas atau tidak. Untuk ini saya tidak bisa menjawab, karena saya sendiri belum pernah berhasil melakukannya. Beberapa kali saya mengirimkan cerpen ke harian Kompas, namun juga masih ditolak.

Apa iya saya tepat dimintai saran atas hal tersebut, sementara saya sendiri belum pernah membuktikan.

Paling sering, adalah teman yang bertanya soal kualitas tulisan. Apakah masih ada yang salah? Kata “salah” itu membuat saya geli. Lantas apa saya punya otoritas menilainya?

Yang berhak menilai benar dan salah sebuah karya adalah orang yang punya otoritas. Bisa kurator, redaksi, atau editor. Apa yang dimaksud kurator? Kurator sebenarnya adalah istilah yang diperuntukkan kepada orang yang menyeleksi karya seni, terutama seni lukis. Namun penggunaan kata kurator sendiri sudah melebar kemana-mana.

Apa mungkin, benar-salah yang dimaksud adalah aspek tanda baca, atau ada huruf yang kurang lengkap?

Saya bukannya pelit berbagi ilmu, tapi saya benar-benar tidak tahu apa “benar” apa “salah”. Misalkan, jika kita mengukur ketepatan suatu tulisan dengan EYD, atau EBI. Tapi keduanya bukan alat ukur. Keduanya adalah pedoman.

Apalagi untuk tulisan yang dikirim ke media. Dunia media itu sangat dinamis. Tidak statis. Ada paradigma berbeda antara guru bahasa dan editor, dalam aspek penilaian suatu karya. Seorang guru harus taat EYD/EBI, karena itu bagian dari “tugas negara”. Namun media, selain harus tetap berpedoman pada EYD/EBI, tapi disatu sisi mereka juga berperan mengembangkan bahasa Indonesia.

Kata baku dan tidak baku menjadi cair. EBI itu punya paradigma berbeda pula dari EYD, terutama dalam aspek pengayaan kosa kata. EYD disebutnya Ejaan Yang Disempurnakan. Artinya paling sempurna. Sementara EBI disebutnya Ejaan Bahasa Indonesia. Ada kesadaran jika tidak ada yang sempurna.

Makanya kini dibuat kamus daring, yang setiap waktu mungkin akan muncul kosakata bahasa Indonesia baru, mengingat tidak semua kata dalam bahasa daerah punya padanan dalam bahasa Indonesia. Padahal Indonesia terdiri dari ratusan suku dan bahasa.

Maka tiap kali ada yang share tulisan, saya lebih memposisikan sebagai penikmat. Kesalahan manusiawi, seperti kurang spasi, huruf kurang lengkap, dlsb bisa diatasi penulis sendiri dengan membaca ulang. Kalaupun ada masukan, yaitu soal pemilahan diksi, deskripsi, atau rangkaian kalimat.

Saya sadar jika tidak punya otoritas, untuk menyebut tulisan tersebut layak muat atau tidak ke media massa. Saran saya kirimkan saja naskahnya. Jangan takut ditolak editor, karena itu keniscayaan. Bukan suatu aib atau dosa yang harus dikutuki. Justru kita akan belajar dengan penolakan orang yang punya otoritas.

Yakinlah bahwa tidak ada karya yang benar-benar sempurna. Baik dalam aspek apapun. Bahkan tak sedikit kritikus yang menuai kritik. Makanya kenapa kritik disampaikan dengan bentuk esai. Bukan dengan lisan.

Sebab kritikus juga adalah orang yang harus mempertanggung jawabkan kritiknya. Karena itu menyangkut karya orang lain, menyangkut “anak jiwa” orang lain. Jika ia boleh mengkritik, maka ia juga harus siap dikritik.

Saya lebih memposisikan diri sebagai penikmat, kadang sedikit sebagai pengamat. Kalaupun harus mengkritik, saya lakukan dengan tulisan. Sebab tulisan harus dikritik dengan tulisan. Begitu pula sebaliknya. Karena dengan itulah tradisi menulis hidup.

Jadi menulis itu berarti menciptakan tradisi tulis, bukan tradisi lisan. []

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak