Saya membayangkan andai Perpustakaan Bung Karno dilengkapi dengan cafe, entah bagaimana konsepnya. Khususnya di lantai II. Tapi ide semacam itu agaknya kurang bisa diterima, dengan alasan mengurangi konsentrasi pembaca, atau mengotori ruangan.
Padahal ketika membaca, paling enak ditemani secangkir kopi/teh dan camilan. Orang Jakarta biasa menyebutnya ngupi. Camilannya bisa bermacam-macam, namun umumnya roti.
Di beberapa kota besar, sudah berdiri semacam cafe pustaka. Artinya, selain cafe, namun sekelilingnya juga banyak koleksi buku yang bisa dibaca sembari menikmati minuman dan makanan ringan. Konsep semacam itu coba diterapkan oleh Philokofie di Blitar, dengan memanfaatkan koleksi buku dari Perpustakaan Pijar.
Saya sering berkunjung kesana. Jika tidak ada halangan, minimal seminggu sekali. Banyak buku-buku “berat” yang dikoleksi. Sampai saya bertanya pada pengelolanya, Ratna Haryani, yang sekaligus peracik kopi, tentang asal muasal buku tersebut. Artinya, jika memang itu merupakan sumbangan dari para pengelola perpustakaan pijar, berarti selera membacanya memang kelas berat.
Bahkan ada beberapa buku yang menjadi kajian intensif para aktivis pergerakan. Selain buku-buku Karl Marx (atau yang terkait dengannya), ada buku Il Principekarya Niccolo Machiavelli. Betapa buku tersebut memiliki arti penting dalam dunia perpolitikan, sehingga melahirkan para pemimpin dengan gaya otoritarian. Gaya kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun orde baru bisa terbaca dalam buku tersebut. Sampai ada yang menyebut jika buku itu merupakan “kitab sucinya” para pemimpin otoriter di dunia.
Ada juga beberapa buku Filsafat, seperti karya Friedrich Nietzsche, Albert Camus, dan beberapa lain yang saya belum pernah membaca (atau sekedar tahu). Belum lagi koleksi novelnya yang terbilang novel berat juga. Tetralogi Pulau Burunya Pram, Supernovanya Dee Lestari, novelnya Eka Kurniawan, Ayu Utami dll. Sampai buku otobiografi dari tokoh favorit saya, Buya Syafii Maarif, juga ada disana.
Bagi yang haus bacaan, tempat itu bisa mengobati dahaga kita. Terutama yang ingin mencicipi bacaan baru, seperti buku-buku yang saya sebutkan diatas. Termasuk ketika ingin sekaligus mendiskusikan sembari menikmati kopi dan eneka minuman lainnya.
Tempat seperti Philokofie, atau yang sejenis di kota lain, merupakan rumah tersendiri bagi para penikmat buku. Aktivitas membaca buku harus didesain dengan santai agar tidak nampak berat, formal, dan membebani. Selama ini stigma orang yang suka membaca buku memang terlalu kaku. Bahkan disebutnya kutu buku. Padahal istilah tersebut sangat tidak tepat, dikarenakan kutu merupakan hewan parasit yang merugikan.
Mereka yang suka membaca juga tercitrakan anak kuper, culun, dan individualis. Makanya banyak yang menghindari aktivitas ini karena tidak ingin mendapat anggapan demikian. Bahkan membaca novel pun identik dengan kegiatan perempuan. Inilah yang harus dirubah.
Membaca adalah kebutuhan otak untuk mendapatkan informasi dan persepsi. Otak juga butuh diisi dengan bacaan, seperti lambung diisi dengan makanan. Akan tambah nikmat jika dua-duanya diisi secara bersamaan. []
Blitar, 21 Januari 2017
Tags:
buku