Bagi sebagian orang, perpustakaan menjadi lokasi yang menarik untuk mengisi waktu. Apalagi perpustakaan yang didesain menarik, dengan tata ruang yang representatif. Sejak aliyah maupun kuliah, saya sering ngadem di perpustakaan.
Semisal pas sekolah pulang lebih awal, pilihannya, kalau tidak ke rumah teman atau main playstation, larinya pasti ke perpustakaan. Atau jika tidak ada kegiatan ekskul, sepulang sekolah kalau tidak ke warnet, biasanya ke perpustakaan. Seingat saya, jarang sekali belajar kelompok. Mungkin karena saya jarang belajar, dan sering telat mengerjakan PR.
Untungnya di Blitar ada perpustakaan yang bagus. Bangunannya bagus, koleksi buku dan majalahnya juga banyak. Ruangannya ber-AC. Sangat nyaman. Menariknya pula, yang keluar masuk tempat itu tidak selalu berpakaian formal. Tidak selalu menggunakan sepatu, atau kemeja. Bahkan banyak yang bercelana training dan berkaos oblong. Suasana informal semacam itu semakin memberikan kesan tersendiri.
Suatu ketika, ada anak kecil yang tengah serius membaca majalah. Dari posturnya, sepertinya masih SD. Di samping majalah yang ia baca, ada dua buku tebal, diatasnya ada kartu peminjaman. Sepertinya itu buku yang baru saja ia pinjam dari lantai II. Gaya membacanya nampak seperti orang dewasa, serius dan khidmat sekali. Menarik, anak sekecil itu sudah suka membaca.
***
Waktu kuliah di Malang, saya takjub dengan kebesaran Perpustakaan UIN Malang. Perpustakaan itu dinamai Gedung Abdurrahman Wahid. Fikir saya, kenapa nama Gus Dur yang dilekatkan untuk perpustakaan? Padahal figur Gus Dur lebih lekat sebagai Kyai ketimbang akademisi. Namun dipilihnya nama Gus Dur, menjelaskan bahwa membaca adalah hak bagi siapapun.
Perpustakaan UIN Malang terbilang besar. Ada tiga lantai, plus lantai dasar yang digunakan untuk parkiran. Di lantai dasar itupula ada Koperasi Mahasiswa. lantai satu berisi buku-buku tebal, mungkin semacam ensiklopedi. Di sudutnya ada sofa khusus, yang disampingnya tersampir koran-koran dan majalah, dan sisanya berserakan di meja. Lantai satu saja luas sekali. di sisi kanannya ada warnet.
Di lantai II, koleksi khusus buku berbahasa asing (arab dan inggris), disana juga tersedia sofa dan meja yang diatasnya ada beberapa majalah. Disamping koleksi buku berbahasa asing, ada koleksi skripsi. Di sebelahnya lagi, ada ruangan khusus yang biasanya digunakan untuk pelatihan atau workshop. Disitu juga ada jasa fotocopy.
Naik ke lantai III, disinilah biasanya buku-buku kuliah umum tersedia, novel-novel, buku pemikiran, sampai buku kuliah interdisipliner. Lantai III koleksinya paling banyak, dan paling ramai. Disampingnya juga ada jasa fotocopy. Sehingga jika ingin fotocopy, tidak perlu keluar perpus.
Meski hanya tiga lantai, namun bolak-balik 2 kali saja sudah cukup melelahkan, karena satu lantai ada dua cabang anak tangga. Lift yang ada hanya diperuntukkan bagi petugas. Tapi tak apa, hitung-hitung olahraga. Di lantai III itu, saya lebih sering meminjam buku pemikiran dan novel. Ada banyak sekali buku-buku bagus. Rasanya tak bosan berada di tempat ini, apalagi jika selepas dhuhur tidak ada kuliah. Selain biasanya dihabiskan untuk tidur, tak ada salahnya dihabiskan di perpus. Hitung-hitung untuk mendinginkan tubuh karena diluar terik matahari begitu menyengat.
***
Tiap hari minggu, meski tak selalu, kadang ke CFD (Car Free Day). Kadang naik motor, kadang jalan kaki dari kontrakan ke tempat CFD sekitaran jalan ijen. CFD hanya sampai jam 10-an, setelah itu biasa dihabiskan di Perpustakaan Kota ber-cat kuning itu. Kadang juga ada bazar buku di lantai I.
Yang hampir selalu rutin adalah IBF (Islamic Book Fair) di Skodam, Malang. Kalau tak salah tiga bulan sekali. Para penikmat buku selalu menyerbu tempat tersebut. Tidak saja bazar buku, tapi juga pakaian, makanan, dll. Selain itu juga diselingi dengan talk show dan lomba dengan berbagai tema.
Bazar-bazar lain juga sering diadakan diberbagai kampus. Ada buku-buku lawas yang dijual sangat murah, setara seporsi pecel. Beberapa bahkan ada buku berkualitas, yang ditulis oleh pengarang hebat. Disatu sisi kita bahagia karena bisa mendapatkannya dengan harga murah, disisi yang lain kita sedih karena rendahnya pernghargaan atas buku yang dikarang serius oleh penulis yang mumpuni.
Kalau di Blitar, event seperti bazar buku, apalagi yang murah, memang sangat jarang. Jumlah toko buku pun bisa dihitung dengan jari. Yang koleksinya komplit pun masih jarang. Sempat berdiri toko buku yang namanya familir, artinya hampir tiap kota ada, namun khusus di Blitar tak bertahan lama. Hanya ada satu toko buku rujukan, yang biasanya memiliki program diskon.
Perpustakaan, toko buku, dan event bazar buku menjadi rumah tersendiri bagi para penikmat buku. Tempat yang hampir selalu dikunjungi, meski harus dengan susah payah menyisihkan uang. []
Blitar, 1 Desember 2016
Tags:
buku