Benar kata Ratna Haryani, pengelola Philokoffieyang juga seorang barista, bahwa kopi itu dasarnya memang pahit. Yang manis itu gula. Jadi jangan mengeluh kalau kopimu pahit. Karena itulah rasa sebenarnya dari kopi, yang murni kopi.
Makanya segelas espresso kecil yang saya pesan sore itu nampak berbeda. Sebenarnya ini bukan “kopi pahit” pertama yang pernah saya cicipi. Tapi baru kali ini ada penjelasan ilmiahnya. Beberapa tahun silam, saya pernah mencicipi kopi tubruk buatan nenek, sungguh pahit sekali. Nenek bilang kalau pahit tambahkan saja gula. Berarti kopi itu memang belum ada gulanya. Padahal hampir tiap pagi kopi itu tersaji untuk kakek. Ternyata kakek dan generasinya banyak yang minum kopi tanpa gula.
Kopinya pun juga murni. Tidak ada tambahan beras atau jagung. Kata Ibu saya, anak kecil tidak boleh minum kopi seperti itu. Itu khusus lelaki dewasa. Katanya bisa bikin “keleng-keleng”, artinya bisa benar-benar terlepas dari rasa kantuk. Ibarat obat, itu bener-bener obat melek yang cespleng. Juga untuk penambah stamina, karena kakek saya dulu kerjanya di pandai besi, spesialis membuat pacul dan celurit.
Beberapa kali juga saya membaca literatur tentang kopi. Sebagaimana kepercayaan orang-orang terdahulu, kopi memang memiliki khasiat yang semacam itu. Bahkan menurut beberapa kritikus bahasa, kopi itu transliterasi dari bahasa arab Kohwa. Tapi diucapkan oleh lidah orang eropa, entah lidah Belanda atau Inggris menjadi coffe. Masuk ke Indonesia menjadi kopi. Sementara kata Kohwa yang dalam bahasa arab berarti kopi, di Indonesia sendiri malah lebih dekat dengan kata kuwat/kuat. Intinya, makna kopi itu tidak jauh dari kata kuat.
Sekarang, ketika mencicipi kopi, terutama kopi kemasan yang beredar luas, rasanya khasiat-khasiat tersebut seolah menjadi mitos belaka. Kalau kopi bisa memberikan energi dan mencegah rasa kantuk, ternyata tidak selalu begitu. Mungkin berbeda cara mengolahnya, atau mungkin terlalu banyak campurannya. Semisal gula, atau bubuk-bubuk yang lain, sampai kadar kopinya tak ada 50%.
Ketika dulu saya magang di pengolahan susu (Pasteurisasi) di daerah Pujon – Malang. pagi dan sore para peternak sapi perah menyetorkan susu-nya. Susu itu kemudian difilter dalam sebuah alat, dimana susu dengan kualitas rendah kemudian dikembalikan. Yang diolah hanya yang berkualitas tinggi. Namun yang dikembalikan itu kemudian dijual literan dengan harga yang sangat terjangkau.
Susu pun aslinya juga tidak manis. Dominan gurih. Lalu beredarlah susu-susu kemasan dengan rasa super manis. Meski masih banyak susu murni yang dikemas. Mungkin kopi juga bernasib demikian. Ada kopi blend kemasan yang sangat manis. Sudah di proses sedemikian rupa sehingga khasiat atau ke-khasan minuman tersebut menjadi hilang.
Pernah juga saya terkena typus, dan sudah muak dengan obat-obatan kimiawi, menurut resep tradisional, air kunir mampu menyeimbangkan fungsi usus dan lambung. Akhirnya saya membeli kunir yang biasa dijual di pasar. Rasanya manis. Kata penjualnya, sudah dicampur gula biar enak. Begitupun dengan beras kencur. Biasanya dua minuman ini selalu berdekatan.
Setelah saya membaca baca khasiat kunir, ternyata bisa mencegah diabetes juga. Padahal gula adalah lawan berat diabetes. Lalu kalau tujuannya mendapatkan khasiat, kenapa harus enak? Kita baru sadar ternyata “rezim lidah” sudah menguasai fikiran kita, sehingga kita menilai enak tidak enak, bukan lagi khasiatnya. Siapapun tahu kalau obat/jamu itu tidak enak. Namanya juga obat.
Terkecuali susu, rasanya memang sudah enak. Meski ada yang tidak tawar dan akhirnya menambahkan gula. Tapi jamu, entah kunir, kencur, sampai mengkudu memang didesain sebagai jamu/obat/penyembuh. Mereka berkhasiat bukan karena enak-nya. Akhirnya saya memesan khusus kunir murni, yang diperas dari ampas tanpa gula. Pahitnya memang tak ketulungan, bahkan setelah minum masih cetar dilidah.
Sore itu saya belajar menikmati kopi yang benar kopi. Kopi dari biji yang dilembutkan sendiri pakai coffe blend, dan diperas airnya sendiri dengan coffe pres. Pahit iya. Inilah rasa kopi yang sebenarnya. Tanpa pemanis. Tanpa gula-gula. Sekaligus menyadarkan diri saya bahwa lidah juga bisa mencecap rasa pahit, tidak hanya manis atau gurih. Tapi kenapa yang pahit cenderung dihindari? Sementara yang manis dan gurih begitu diburu?
Orang-orang terdahulu, atau orang-orang kekinian yang bisa menikmati yang pahit tersebut, berarti sudah bisa menemukan seni-nya tersendiri. Pahit juga bagian dari rasa. Ini soal konstruksi fikiran. Proses adaptasi rasa. Akhirnya, pahit pun menjadi enak. Definisi enak tidaknya suatu sajian, bukan lagi soal manis atau gurih. Tapi enak artinya yang bisa dinikmati. []
Blitar, 13 November 2016
Tags:
cerpri