(Ilustrasi : sumber Google. Siswa MTsN Blitar perform)
Pertama kali saya merasakan full day school (FDS) adalah kelas 9 tsanawiyah, di MTsN Blitar tahun 2006. Sekolah itu memang tidak menerapkan FDS, tapi khusus kelas 9 harus ada jam tambahan dan les tambahan yang diadakan sekolah untuk kepertingan UN, yang dulu disebut les Pims. Sayang saya lupa apa kepanjangan dari "Pims" tersebut.
Saya adalah generasi kedua dari pelaksaan UN, yang dulu Mendikbudnya Prof. Bambang Sudibyo. Seperti yang anda tahu, UN dulu itu menjadi kekhawatiran tersendiri, terlebih bagi saya yang kemampuan akademiknya pas-pasan. Maka harus ikut les tambahan.
Dari 3 pelajaran yang di UN-kan, saya hanya bagus di mapel Bahasa Indonesia. Matematika dan Bahasa Inggris nilainya minor terus. Tapi tetap diwajibkan untuk ikut jam tambahan ketiganya.
Jam regulernya selesai sampai 12.45. Jam tambahan masuk pukul 13.30 atau 14.00, saya rada lupa. Selesai antara jam 16.00 atau 16.30.
Kalau kemarin dalam konpres Mendikbud mengatakan, andai FDS ini dijalankan, maka akan dibuat kegiatan yang menyenangkan, outdorr, bukan lagi teori di kelas.
Kalau saya dulu, jam tambahannya full di kelas. Hanya kelasnya dicampur dengan kelas lain. Misal, kalau dalam kelas reguler saya ada di kelas 9C, di kelas tambahan dicampur dari kelas A-H. Sehingga suasananya baru.
Guru-gurunya pun juga berbeda, diambil dari guru tsanawiyah lain. Dan gurunya kebetulan enak cara mengajarnya.
Les pims dan jam tambahan itu berlangsung dari senin-kamis. Di kelas. Orang berfikir pasti membosankan, jenuh. Dalam beberapa hal memang terjadi. Tapi bosan tidaknya itu ada dalam fikiran masing-masing. Orang yang seharian cuma di rumah pun juga bisa didera kebosanan yang akut.
Tinggal bagaimana konsepnya. Justru, setelah lulus, moment-moment FDS itu jadi kenangan tersendiri, kerinduan tersendiri.
Kerinduan karena banyaknya waktu yang dihabiskan bersama teman, atau ketika antri membeli mie rebus di kantin untuk makan siang. Beberapa menggunakan jam istirahat selama 45 menit itu untuk main basket, ngobrol di depan kelas, atau ada yang tiduran di serambi masjid.
Pulangnya, karena sore hari, juga lebih enak, tidak panas. Dulu rata-rata bersepeda, hanya beberapa yang naik motor. Sisanya, seperti saya, naik angkutan umum.
Sekilas, jika diingat, moment itu sungguh menyenangkan. (*)
Blitar, 10 Agustus 2016
A Fahrizal Aziz
Tags:
cerpri