Tausiyah dan Lawak





Sekarang kita susah membedakan orang yang pergi tausiyah, sama orang yang pergi nonton lawak. Misal kita tanya, kenapa datang ke pengajian ustad itu? ada yang menjawab karena Ustadnya lucu. Jawaban yang singkat nan apa adanya, tapi menimbulkan beragam pertanyaan baru.

Kalau lucu kenapa tidak nonton Sule atau Tukul saja? Ada jawabnya lagi, tidak berpahala. Jadi, pengajian yang kebetulan ustadnya lucu itu, selain menghibur juga berpahala. Begitulah kira-kira keyakinan orang-orang itu.

Kata “berpahala” inilah yang membedakan. Tapi anehnya juga, Ustad yang tidak lucu, meski kompetensi keilmuannya memadahi, justru tidak laku. Berbeda dengan ustad yang biasa-biasa saja, yang kadang nongol di acara infotaintment tersebut, dan karena lucu, jamaahnya sangat banyak.

Tapi ada penjelasan lain, ketika jamaah yang terbiasa ngaji di ustad lucu tersebut, kemudian berpindah ke ustad yang serius, kesannya jadi bosan, kaku, dan tidak nyambung.

Menyiapkan Mental

Ikut pengajian pun juga perlu mental. Mental untuk belajar. Mental untuk menerima berbagai ilmu. Mental untuk telaten dan terus bersabar. Bukan mental ingin dihibur. Kalau ingin dihibur, lebih baik nonton komedi. Lalu bagaimana dengan menghibur tapi berpahala?

Iya kalau berpahala, tapi kalau sebaliknya? Ada ustad yang membuat jamaahnya terpingkal-pingkal karena menyamakan kaum berjenggot dengan jenggot kambing. Ada juga ustad yang membuat jamaahnya terpingkal-pingkal karena menyamakan salah satu gerakan dakwah dengan istilah jamaah omprengan karena sering membawa peralatan masak ke masjid-masjid.

Belum lagi humor yang menyebut mereka yang menggunakan celana cingkrang kemana-mana sebagai korban kebanjiran, dan perempuan bercadar lengkap diistilahkan sebagai orang yang terlalu sering nonton film ninja.

Mungkin lucu dan membuat terpingkal, tapi pahalanya dimana? itu sama saja dengan ghibahbahkan merendahkan orang yang secara ideologis tidak sejalan dengan kita. Apalagi, acara itu dikemas dengan nama Tausiyah, bukan lawak. Artinya, menertawakan mereka yang berseberangan secara ideologis tidak bisa dikategorikan sebagai humor karena forumnya Tausiyah.

Mental belajar itu juga menyiapkan diri untuk sabar menerima kejenuhan, kepusingan, dan kebosanan. Kita mungkin bosan mendengarkan penjelasan Ustad karena yang dibicarakan hal-hal yang berat. Kita mungkin juga pusing dengan berbagai teori, jenuh karena harus membaca sekian lembar, menghafal sekian ayat, dll.

Tapi Tausiyah itu adalah forum ilmu. Bukan forum lawak. Intinya adalah Ilmu-nya itu, bukan humor-nya. Ilmu harus ada, tapi humor tidak harus ada. Kalaupun ada humor, maka humornya tentu berbeda dengan humor layaknya acara komedi. Humornya bernas dan cerdas. Misal, kalau orang pakai baju koko disebut sudah islami, maka orang-orang China yang mau bermain kungfu itu semua Islami dong.

Tausiyah itu mestinya melawan setiap kedangkalan berfikir. Karena problem utama Umat kita adalah kedangkalan itu tadi. Jamaah yang ikut dalam Tausiyah juga harus menyiapkan mental sebagai orang yang ingin mendalami ilmu agama. Bukan sekedar mental ingin dihibur. (*)

Blitar, 23 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak