Sehat



Seorang bapak mengeluhkan perut buncitnya. Ia juga tengah dibayang-bayangi dengan penyakit gula atau diabetes. Kecemasannya bertambah karena ia hampir sulit mengurangi kebiasaan minum kopi dua kali sehari. Sekarang, diusianya yang lewat kepala lima, fokus utamanya adalah menambah kegiatan fisik dan mengurangi konsumsi gula. Tidak hanya kopi, tapi juga kue-kue, makanan ringan, bahkan nasi putih.

PR tambahannya adalah mengecilkan perut yang buncit. Maka bapak itu heran saja jika menemui orang berusia diatas 50, bahkan 60, namun tidak memiliki perut buncit. Tidak harus menghabiskan waktu untuk jongging sambil menggunakan mantel hitam biar berkeringat. Tidak perlu lagi konsultasi ke dokter setiap bulan sekali.

Saya kira, hanya anak muda saja yang peduli dengan tampilan fisik. Ternyata orang tua juga. Kalau anak muda rajin pergi ke gym biar dapat tubuh ideal, bahkan kekar dan perut sixpack, agar mungkin, “daya tawarnya” ke perempuan naik. Kalau bapak itu berjuang untuk mengecilkan badan, lebih tepatnya, mengecilkan perut buncit agar terhindar dari beragam penyakit.

Walhasil, sepertinya selama hidup waktu kita habis untuk sekedar mengurusi fisik. Bahkan anak muda, usia puber hingga menjelang 30-an, rela mengkonsumsi suplemen penambah masa tubuh dan otot. Ada susu yang harganya diatas 200rb, efeknya untuk menambah berat tubuh.

Teman saya sudah mencoba, tapi sayang kebablasan. Dia akhirnya gemuk. Gemuk sekali. Padahal, menurut para ahli, susu itu memang untuk membesarkan tubuh, tapi akan menjadi problem jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik. Sederhananya, tubuh sudah melembung, setelah melembung itulah harusnya dibentuk dengan olah raga fisik. Tapi, dia lupa untuk membentuknya, dan hanya fokus menggelembungkan.

Saya pernah disarankan beberapa orang agar mengkonsumsi susu itu biar lebih “berisi”. Mungkin saya memang terlihat kurus. Meski, setelah konsultasi, sebenarnya definisi kurus itu banyak disalah pahami. Kurus itu terjadi minus antara tinggi dan berat badan. Sementara, dari tinggi 163 dan berat 55 kg, sebenarnya saya tidak kurus. Rumusnya, tinggi badan dikurangi 110. 163-110 = 53. Ideal. Bahkan kelebihan 2 kg.

Bahkan kurus itupun tidak berhubungan dengan berisi atau tidak berisi. Ada orang yang tubuhnya berisi, tapi pendek, atau sebaliknya. Pada intinya, saya pun tidak pernah meminum suplemen ini-itu, atau program ini-itu. Saya kurus memang sejak dulu kurus. Ya mau bagaimana lagi? Problemnya dimana?

Yang menjadi problem itu yang awalnya gemuk, atau katakanlah ‘berisi’ kemudian menjadi kurus. Apa jangan-jangan masyarakat kita, terutama anak-anak muda yang lagi on fire itu, terbawa-bawa oleh iklan susu l-men? Tapi sangat mustahil jika hanya minum susu tubuh bisa sebagus itu. Akhirnya stigma tubuh bagus pun terproyeksi dari iklan tersebut.

Memiliki tubuh bagus menjadi prioritas utama ketimbang membangun skill. Masalahnya, mendambakan tubuh bagus sampai harus meminum suplemen ini suplemen itu. Efeknya barangkali bagus di awal, tapi di akhir bisa menyebabkan komplikasi.

Untuk apa itu semua? Tentu untuk ukuran bapak-bapak tadi, mendambakan tubuh bagus hanyalah ilusi. Usia diatas 50 adalah usia regeneratif. Bapak itu harus benar-benar mengikuti anjuran dokter. Jika orang normal batas konsumsi gula 9-12 sendok teh per hari, bapak itu harus mengurangi hingga seperempatnya bahkan tidak sama sekali. Bahkan harus selektif untuk memilih makanan yang mengandung gula.

Di usia bapak-bapak itu, intinya adalah Sehat. Bukan yang lain. Olah raga, untuk sekedarnya, agar kalori terbakar, keringar keluar, dan proses detoksinasi berlangsung dengan baik. Tidak perlu lagi punya tubuh bagus agar memiliki “nilai tawar”. Sudah kepancal usia.

Kadang, meski baru berada di usia 20-an, kita boleh-boleh saja memiliki pemikiran seperti bapak itu. Kata kuncinya : Sehat. Sehat tidak selalu punya tubuh bagus kayak atlet. Sehat mungkin tubuhnya standart-standart saja, tapi kita bisa lancar melakukan banyak hal : Berkarya, mengasah skill, menghasilkan banyak uang, membantu orang lain, dll.

Lagipula, persepsi tubuh bagus atau tidak itu sangatlah relatif. Apakah perempuan lebih suka yang kekar dan sixpack? Belum tentu. Ada perempuan justru lebih suka yang kurus-standart, no pack. Ada juga yang suka sedikit gemuk dan sedikit buncit. Bahkan dalam sejarah kerajaan-kerajaan nusantara, lelaki macho di era-nya selalu digambarkan sedikit gemuk dan buncit. Contohnya, Patih Gadjah Mada. (*)

Blitar, 28 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak