Hidup dalam rasa benci, atau cinta



Nyatanya khotbah tentang cinta tak selalu lebih mudah dari prakteknya. Hidup dengan rasa cinta jauh lebih susah ketimbang hidup dengan rasa benci dan penuh prasangka negatif. Dalam cinta biasanya muncul kebencian, meski tak jarang hal kebalikannya pun terjadi.

Seorang lelaki tega menghabisi nyawa pacarnya karena cemburu. Cemburu adalah bukti bahwa ia pernah cinta. Cinta yang berlebih, cinta yang overdosis, yang akhirnya tidak saja menimbulkan kebencian, namun menimbulkan hilangnya akal sehat.

Seorang pemeluk agama tega melakukan kekerasan atas dalih penegakan hukum, padahal mereka sepakat kalau agama itu sumber rahmat, kasih sayang, dan pencerahan. Rasa suci yang berlebih akhirnya pun justru tidak men-suci-kan. Melainkan justru menimbulkan kekotoran baru, bercak darah dalam sejarah agama yang selalu di khotbahkan sebagai jalan kebenaran, kesucian, keselamatan, hingga perdamaian.

Rasa cinta butuh di pupuk, namun rasa benci hadir begitu saja, melalui narasi media-media, melalui omongan demi omongan, atau melalui pola pikir setiap individu yang memang menolak sang liyan, the others, atau yang berbeda dengannya. Keberbedaan itulah yang menyebabkan kepentingan masing-masing.

Takut menderita bukan berarti melahirkan penderitaan baru. Bukankah hidup dalam rasa benci itu sungguh sebuah penderitaan juga?

31 Januari 2016
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak