‘Patah Hati’ Politik



Saya sering mendapati meme, postingan, dan sejenisnya yang intinya mengutarakan penyesalannya karena telah memilih calon tertentu dalam sebuah pesta politik. rata-rata, meski tidak semua, yang seperti itu adalah anak-anak muda yang baru pertama berpartisipasi dalam even politik semacam itu. Dikiranya, memilih pemimpin itu sama dengan memilih pacar. Kalau tidak sesuai harapan, bisa dengan mudahnya menyesal dan patah hati.

Apalagi ada embel-embel begini : Harusnya dulu pilih itu. Nah, pertanyaannya seberapa yakinkah anda kalau itu jadi pemimpin bisa lebih baik dari yang sekarang? Jangan-jangan itu hanya ungkapan ‘patah hati’ semata. Kalau begitu, saya yakin, siapapun Pemimpinnya, sehebat apapun dia, pasti akan selalu mengecewakan. Karena dalam sejarah, tak ada pemimpin yang sempurna, termasuk Soekarno yang revolusioner itu.

Dalam satu sisi, kedewasaan berpolitik anak-anak muda itu (atau sebagian yang tua) juga tengah diuji. Tentu memilih pemimpin tidak sama dengan memilih kekasih. Kekasih mendedikasikan cintanya untuk satu orang saja, sementara pemimpin mendedikasikan cintanya untuk masyarakat yang jumlahnya puluhan juta. Artinya memang tidak baik juga membuat ekspektasi berlebih, apalagi yang bersifat subyektif dan tendensius terhadap Pemimpin yang harus mengatur puluhan juta orang tersebut.

Ada yang patah hati karena sebatas patah hati, artinya patah hati karena ternyata ekspektasi yang muncul dibenaknya dulu ketika memilih, belum juga terwujud. Bisa juga patah hati karena ternyata, sudah susah-susah mendukung, berkorban ini itu, ternyata tidak dapat posisi. Dua patah hati ini membuat mereka yang awalnya mendukung dan bahkan fanatik, jadi berbalik arah.

Saya kira siapapun dari kita harus konsisten atas apa yang dulu diyakininya. Menerima atas apapun yang terjadi sembari terus mengontrol, memberikan kritik dan masukan jika ada hal-hal yang sekiranya kurang pas. Kritik berbeda dengan patah hati. Patah hati biasanya menciptakan sinisme atau antipati. Kalau orang mengkritik, biasanya menyalahkan lalu memberi solusi. Kalau orang sinis dan antipati, biasanya menyalahkan sambil menyuruh yang berkuasa mundur dari jabatannya. Atau minimal, membuat semacam propaganda yang merendahkan pemimpin tersebut.

Kritik akan memberikan nasehat yang mencerahkan, namun patah hati hanya akan menciptakan kebencian yang berkepanjangan.

Jadi, Patah Hati politik yang ditunjukkan di hadapan publik itu, sebenarnya justru merugikan diri sendiri dan malah bisa dimanfaatkan oleh lawan politik pemimpin tersebut untuk membuat propaganda di masyarakat. Akhirnya, ali-alih menyelesaikan masalah yang ada, justru membuat suasana semakin keruh. Itulah salah satu bahayanya “Patah hati Politik”. Apalagi yang patah hati itu adalah public figure yang sudah dikenal luas. Dampaknya tidak main-main.

Jadi, stop patah hati. Itu saja!

Blitar, 10 November 2015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak