Pertama kali menonton film Thailand yang berjudul “Suckseed” yang kocak dan full music itu, saya jadi ketagihan menonton film Thailand. Kebetulan ada teman yang mengoleksi banyak film Thailand, meski hampir sebagian besar aktornya adalah Mario Maruer. Tapi dari file-file yang saya dapat itu, ada beberapa yang bertema LGBT, terutama bercerita tentang gay. Sejauh ini baru dua yang saya tonton, My Bromance dan The Love of Siam. Saya juga tidak menduga kalau di film Love of Siam, Mario Maruer bisa melakukan adegan ciuman dengan sesama jenis.
Padahal kesan pertama menonton film Thailand itu, adalah romantisme anak-anak sekolah yang dibungkus dengan apik melalui berbagai scene. Misalkan saja suckseed, ada Natasha Nouljam yang mahir sekali bermain gitar dan bernyanyi, dan seorang lelaki yang mampu menciptakan lagu untuknya. Jadi menarik, ada cinta yang membangun. Belum lagi humor-humor yang selalu di selipkan. Seperti film berjudul One Little thing called love yang juga diperankan oleh Mario Maruer. Cinta yang akhirnya merubah hidupnya, bahkan mempengaruhi karirnya di masa depan.
Teman saya pun tidak tahu kalau film yang dia copy itu bertema LGBT. Misalkan The Love of Siam. Dia tahunya karena pemeran utamanya Mario Maruer, makanya dia copy. Apalagi, di cover sampulnya, ada dua lelaki dan dua perempuan, seperti saya, Ia pun sama sekali tak menduga kalau itu film bercerita tentang seorang lelaki bernama Mew yang mencintai sahabatnya, Tong (Mario Maruer).
Film Love of Siam di produksi tahun 2007. Sembilan tahun silam, tema LGBT sudah diproduksi oleh Industri film Thailand. Tahun itu saya masih kelas 1 SMA. Ternyata, kalau kita search di Google, film Thailand bertema LGBT jumlahnya begitu banyak, mulai dari yang biasa-biasa, sampai yang fulgar seperti Gthai. Betapa beraninya Thailand memproduksi film semacam itu?
Saya baru tahu kalau hubungan seksual sesama jenis, berikut dengan perilaku sodomi sudah dilegalkan lebih dari 50 tahun silam. Hanya saja, Thailand masih belum menerima pernikahan sesama jenis layaknya di Amerika Serikat yang legal belakangan ini. Tidak mengherankan ketika misalkan ada film yang secara fulgar menampilkan adegan ciuman, bahkan adegan hubungan seksual sejenis yang sudah seperti video porno. Bahkan, bisa dengan mudah diakses tanpa sensor dan tak terdeteksi sebagai kontent porno karena memiliki lisensi yang legal sebagai sebuah film yang komersil.
Sebenarnya, sejak tahun 2013 silam, ketika diskusi tentang Jurnalisme Keberagaman saya sempat mendengar negara Thailand disebut-sebut, tapi belum begitu ngeh. Karena mungkin konsentrasi saya waktu itu bukan pada keberagaman orientasi seksual, melainkan lebih pada keberagaman tafsir dan ideologi keagamaan.
Khusus Gthai, menurut saya memang sudah pada level ‘ngeri’. Meski itu kemasannya film, namun adegan seksual diperlihatkan secara fulgar layaknya video porno. Kualitas kameranya pun kualitas film HD, bukan lagi kamera ecek-ecek yang format 3gp layaknya kontent porno yang selama ini kita tahu.
Mungkin ada banyak yang secara tidak sengaja menonton film Thailand, dan kebetulan menemukan tema LGBT, karena memang jumlahnya banyak sekali. Kalau untuk ukuran Love Of Siam atau Bromance saya kira tak begitu mengerikan, tapi kalau sudah seperti Gthai, itu memang sudah melewati batas norma orang Indonesia. Apalagi Gthai punya lebih dari 10 serial, yang setiap serialnya pasti ada adegan seksual. Saya sendiri tidak tahu bagaimana cara Pemerintah sana mem-filter film-film semacam itu agar tak di konsumsi anak-anak.
Keputusan Pemerintah Thailand untuk memberi ruang terbuka bagi kaum LGBT memang telah menghidupkan banyak komunitas gay, lesbi hingga transgender. Termasuk keberanian mereka mengangkat film-film dengan tema serupa. Bahkan film dengan tema LGBT menjadi sala satu yang cukup hits disamping film horornya yang terkenal itu. Pemerintah Thailand pun mencatat bahwa sekitar 3% populasi penduduk Thailand setiap tahunnya adalah gay.
Namun Thailand perlu khawatir karena pengidap HIV dikalangan LGBT meningkat sangat tajam. Bahkan sudah menjadi epidemi. Karena tidak semua memahami maksud dari legalitas itu. Sebagian, yang kurang terdidik, menganggap bahwa legalitas itu berarti diperbolehkan free seks. Akhirnya terlibat pada hubungan seksual yang tanpa kontrol.
Film-film itupun dampaknya pasti sangat besar sekali. Saya tidak tahu masih berapa banyak lagi film Thailand yang bertema gay. Kemarin saya copy satu folder film serial Thailand, judulnya Club Friday 5. Baru menonton part pertama, sudah terasa nuansa LGBT-nya.
Betapa produktifnya industri film Thailand memproduksi film bertema LGBT. Itu berarti memang pasarnya sangat besar, dan itu berarti jumlah LGBT disana memang sangat banyak. Belum lagi kalau film itu di ekspor ke negara tetangga, seperti Indonesia. Total Penduduk Thailand hanya seperempat dari Indonesia. Anda bisa bayangkan andaikan Indonesia melegalkan hubungan sesama jenis seperti halnya Thailand, sementara banyak sekali yang juga belum terdidik. []
Blitar, 27 Oktober 2015
A Fahrizal Aziz
Tags:
film gay