Kata “maaf” yang merubah hidupnya

“Ini karena bapak saya dulu,” tegasnya setelah menceritakan sesuatu yang sangat terkenang dalam hidupnya. Dulu, waktu masih SMP, dia memang anak yang bandel. Sering bolos sekolah. dari rumah ijinnnya pergi ke sekolah, tapi ternyata belok ke rental playstation. Pihak sekolah bekerja sama dengan satpol PP melakukan razia. Dia tertangkap basah bolos sekolah dan menghabiskan uang sakunya untuk bermain playstation.

Dia memang tidak sendirian, ada belasan anak lainnya. Ada juga dari sekolah yang berbeda. Mereka dibawa ke kantor polresta terdekat sambil menunggu kedatangan orang tua. Semua orang tua datang menjemput, termasuk orang tuanya. Ada bahkan yang dijewer, di cubit, hingga di tampar oleh orang tuanya. Mungkin orang tua mereka marah sekaligus sedih melihat kelakuan anak-anak mereka.

Di saat yang bersamaan, ayahnya juga datang dan berdiri agak lama di depannya. Kala itu dia hanya berdiri sambil menunduk. Ini memang bukan bolos yang pertama, tapi ini adalah kali pertama dia terkena razia. Waktu itu dia sudah siap dengan segala konskwensi dari ayahnya.

Tapi ternyata tak ada kalimat pedas apalagi perlakuan kasar sama sekali. Ayahnya datang dan lekas memeluknya erat sambil sedikit berbisik : maafkan ayah. Setelah itu dia bilang kepada satpol pp, guru, dan polisi yang bertugas bahwa ini bukan kesalahan anaknya.

“Anak saya dulunya ingin sekolah disana, tapi kami memasukkannya ke sekolah yang tidak ia inginkan. Saya juga bersalah karena tidak bisa menyakinkan dia agar tidak membolos. Dia membolos karena tidak nyaman dengan sekolahnya dan mungkin tidak nyaman dengan perlakuan kami,” jelas Ayahnya itu setelah menandatangani beberapa surat. Kemudian mereka kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, tak ada bentakan apalagi makian. Semuanya seolah biasa-biasa saja. Ayahnya yang seorang tengkulak itu melanjutkan pekerjaannya. Meneliti barang dan mengantarkannya ke beberapa toko kelontong.

“Kenapa ayah tidak marah? Dan kenapa malah minta maaf?” bathinnya.

Sang Ibu kemudian datang sambil terisak dan memeluknya erat. Yang dia tahu, ayahnya memang jarang marah. Sekalinya memaksa, yaitu ketika memilihkannya sekolah. Ayahnya ingin dia sekolah di sekolah agama. Agar selain mendapatkan ilmu umum juga mendapatkan ilmu agama. Tapi resikonya, beban pelajarannya lebih berat. Apalagi ada bahasa arabnya.

Setelah kejadian itu, dia berjanji dengan dirinya sendiri untuk tidak lagi membolos. Dia bahkan semakin giat belajar. Karena kata maaf dari ayahnya itu terus ia ingat dan sangat membekas. (*)

Blitar, 121015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak