Islam dan Situs Radikal


 
Wacana pemblokiran situs radikal ini memunculkan tafsir yang beragam, ada yang pro dan kontra. Ada yang menilai pemblokiran itu tepat, ada yang menilai terlalu berlebihan, dan ada yang menilai benar tapi bukan sebuah solusi. Di satu sisi, pemblokiran situs radikal ini juga mulai dikaitkan dengan banyak hal, seperti Pemerintah anti-Islam. Yang intinya, kembali mengaitkan isu agama bercampur dengan politik.

Kita masih ingat moment kampanye dahulu, ketika black campain dimana-mana, terutama yang berkaitan dengan agama. Misalkan, jika Jokowi jadi Presiden, Menteri Agama dari Syiah atau Kementrian Agama akan dihapus. Semua isu itu kemudian tidak terbukti. Kali ini muncul lagi, bahwa wacana pemblokiran situs radikal itu adalah karena situs-situs itu anti-Jokowi dan Anti-Syiah.

Isu-isu seputar Agama selalu menjadi santapan empuk untuk memprovokasi masyarakat. Terutama Agama Islam, yang notabene adalah agama mayoritas di negara ini. Sebagai Muslim, tentu kita ikut bersedih, karena Agama yang kita yakini sebagai sesuatu yang suci, harus dicampur adukkan dengan politik yang serba profan.

Mengingat ke Belakang
Isu tentang Radikalisme dan Terorisme sudah muncul sejak dahulu, dibentuknya BNPT dan Densus 88 dinilai perlu untuk menghalau ideologi semacam ini, meski pada akhirnya, Densus 88 pun kerap mendapatkan kritik, termasuk dari ketua PP Muhammadiyah Din Syamsudin.

Namun entah kenapa, setiap kali ada terduga teroris yang tertembak atau tertangkap, kesemuanya adalah Muslim. Akhirnya, stigma kekerasan selalu melekat pada agama Islam. Semestinya, melihat isu terorisme ini dari dua sudut pandang. Pertama, Islam sebagai Agama yang Universal. Kedua, Islam sebagai Ideologi Politik atau Golongan. Buya Syafii Maarif pernah berkata, Islam harus dilihat dari sumbernya, bukan dari perilaku Umatnya. Cara pandang ini juga relevan untuk menyikapi isu tentang radikalisme dan terorisme, atau tentang wacana pemblokiran situs radikal, sebelum akhirnya kita mencampur adukkan Antara Islam sebagai Dinul Haq, dengan Islam yang sudah dijadikan ideologi golongan.

Soal kasus pemblokiran situs radikal sendiri, seharusnya bukan “Islam”-nya yang dipandang, melainkan “Radikalisme”-nya. Jika pemblokiran situs radikal dilekatkan dengan Islam, maka harus obyektif juga, bahwa ada kelompok Islam yang justru menolak aksi-aksi radikalisme dan terorisme. Aksi kekerasan, kebencian, dan sejenisnya, tanpa harus dilekatkan dengan agama, adalah suatu hal yang negatif. Itu berarti, Islam tidak boleh dibajak, atau dijadikan legitimasi untuk melakukan hal-hal yang berbau kekerasan dan kebencian.

Sejak peristiwa 11 September, ketika Islam mendapatkan stigma sebagai agama kekerasan, upaya untuk memulihkan nama baik itu dilakukan banyak pihak. Salah satu yang paling disorot adalah yang terjadi di Amerika, yang dilakukan Imam Shamsi Ali, yang merupakan orang Indonesia. Banyak tokoh Muslim yang juga resah atas stigma negatif yang dilekatkan barat terhadap Islam. Sampai terjadilah Islamophobia dan kecurigaan dimana-mana. Bahkan nama-nama yang memiliki unsur Arab, seperti Muhammad, Ahmad, Ali, Umar, dll harus mendapatkan perlakuan khusus ketika bepergian keluar negeri, karena dicurigai sebagai teroris.

Indonesia, sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, merasa perlu menjawab stigma itu. Apalagi, di Indonesia, ada dua organisasi Islam besar yang lahir sebelum kemerdekaan, yang kemudian mampu menjadi partner dalam pembangunan dan kemajuan negara. Dakwah produktif dengan membangun budaya, struktur sosial, Pendidikan, Kesehatan, dan mengurus fakir miskin serta anak yatim. Dalam catatan sejarah, Islam masuk pun dengan jalan damai, melalui jalur perdagangan, perkawinan, dan kebudayaan.

Adapun perang, itu tak terlepas dari arogansi politis. Misalkan, perang di Batavia antara Kerajaan Mataram dan Majapahit, atau Perang padri di Sumatra, yang konon karena perbedaan ideologi gerakan Islam. Selebihnya, Islam menjadi agama yang damai, yang merangkul semua pihak. Tak khayal jika daratan Jawa, atau Indonesia secara Umumnya, yang dulunya adalah basis Hindu-Budha, bisa berubah menjadi Islam secara signifikan. Bahkan Islam tidak sekedar menjadi agama formal, namun menjadi tata nilai dan norma yang turut membentuk Indonesia sebagai negara timur.

Terkait situs Islam, terutama yang mengusung nilai-nilai perdamaian, jauh lebih banyak daripada situs Islam yang hendak diblokir. Logikanya, Islam secara institusional, tidak bisa terstigma hanya karena perilaku segelintir orang. Misalkan, ada seorang Muslim mencuri lalu dihukum, maka hukuman yang diberlakukan atasnya adalah perilaku mencuri-nya, bukan atas dirinya sebagai Muslim dan Islamnya. Begitupun ketika melihat kasus pemblokiran situs ini, tentu tidak bijak kalau melihat hukuman pemblokiran itu karena “Islam”-nya. Harusnya melihatnya sebagai ideologi atau persepsi golongan yang ditampilkan melalui content-content website tersebut.

Terlepas apakah BNPT dan Kememkominfo sudah tepat membuat list tentang situs-situs radikal tersebut, pada akhirnya kedua lembaga ini juga harus mempertanggung jawabkan kepada publik. Saya pribadi, kurang sepakat dengan tindakan pemblokiran tersebut, karena memang tidak akan menyelesaikan masalah. Tapi saya juga tidak punya kepentingan untuk membela agar situs-situs itu tetap ada. Terserah saja.

Dan tak baik juga kembali membawa-bawa isu anti-Islam, kembali mengaitkan dengan Syiah atau isu berbau politis lainnya, guna memprovokasi masyarakat. Pihak pengelola situs, jika merasa dirugikan, bisa menggugat secara hukum atau protes secara prosedural ke BNPT dan Kemenkominfo.

Karena masih banyak Muslim yang berdakwah dengan jalannya masing-masing. Masih banyak yang mengelola Pesantren, Madrasah hingga Perguruan tinggi, mengajak Umat berfikir cerdas dan maju. Masih banyak yang mengelola lembaga Zakat, yang tugasnya membantu masyarakat yang kekurangan. Masih banyak yang mengelola panti asuhan untuk menyelamatkan anak-anak yatim dan terlantar. Masih banyak guru-guru TPA yang dengan iklas mengajarkan agama. Mereka juga Muslim dan bisa menjalankan fungsi dakwahnya dengan baik.

Dan jika sekiranya ada konflik Ideologi, atau konflik Politik sekalipun, tak perlu menggulirkan isu anti-Islam. Karena soal pemblokiran situs ini, murni urusan pihak pengelola website dengan pemerintah. Dan tidak melibatkan umat Islam secara keseluruhan. Toh, masih banyak situs Islam yang tidak di blokir. Dan lagipula, menggunakan label “Islam” pun juga tidak akan luput dari hukum. Semoga kasus ini cepat selesai. Wallohu’alam.

Blitar, 5 April 2015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak