Dalam perjalanan Malang-Blitar, saya mampir di sebuah warung tenda pinggir jalan. Letaknya setelah terminal kesamben dan sebelum masuk sentra buah brongkos. Ada dua jenis tempat duduk yang ditawarkan : pakai kursi atau lesehan. Saya memilih lesehan. Sebelah kiri pas, saya bisa menikmati hamparan persawahan, meski agak tandus, namun tanah yang menghampar beserta semilir angin yang berhembus. Membuat pemberhentian tersebut semakin bermakna.
Tempat sederhana itu, seketika terasa sangat mewah. Kencangnya angin yang bertiup, serasa membasuh wajah dan mata yang lelah karena perjalanan. Hembusannya sejuk, tak ada debu. Dari kejauhan, saya bisa melihat kereta api ekonomi berjalan. Sebuah kenangan yang kuat. Bagaimana pun juga, mulai semester 1 hingga semester 6, saya adalah penumpang setia kereta api.
Di sore itu, sambil ditemani semangkok bakso dan segelas teh hangat. Saya benar-benar menikmati suasana. Rasa lelah, gerah, pusing serasa hilang setelah melihat hamparan tanah yang luas, hembusan angin, pepohonan dan benih-benih padi. Seolah alam mengajak berbicara. Apalagi ketika melongok ke atas, terlihat langit sore yang teduh. Tanpa mendung dan burung-burung lalu lalang menghias angkasa.
Indahnya... pekik saya berulang kali. Tempat ini sungguh natural. Dan kita hanya perlu membayar biaya makan-nya. Dalam bathin saya, beruntung sekali penjual bakso tersebut bisa mendapatkan tempat seindah ini.
Memang. Rasa penat kadang bisa hilang karena menikmati alam. Misalkan dengan berkunjung ke hutan, pantai, hingga puncak gunung. Setiap kali penat, saya berusaha untuk mencari ruang terbuka hijau. Disana saya seperti berdialog dengan alam. Ada perenungan mendalam ketika mendengar suara desir angin, kicau burung, debur ombak, hingga kemuning senja. Rasa-rasanya, terlalu mewah kehidupan ini untuk manusia, jika ia menyadarinya. Alam senantiasa terbuka untuk “menyembuhkan” jiwa yang penat dan lelah.
Sebuah terapi yang sudah di sediakan Tuhan secara murah dan mudah. Sementara manusia, hanya perlu merawatnya dengan baik. Begitu pun sore ini, betapa saya benar-benar merasakan bahwa alam ternyata mengalirkan kekuatan positif dalam tubuh kita. Sebuah energi terapis yang menyembuhkan, menyejukkan sekaligus mendamaikan.
Dan ketika bencana muncul, barangkali saat itulah alam telah kehilangan sisi fundamentalnya sebagai penyeimbang karena terlalu kejamnya kita menganiaya mereka.
22 September 2014
A Fahrizal Aziz
Tags:
Spirituality