Ritus Kesunyian (46)





****
Di rumah Egar
“Aku harus pulang,” ucap Awan sambil beranjak dari duduknya, kondisinya belum begitu pulih, tapi ia harus segera kembali, “Sangat senang sekali bisa bersamamu seharian ini, Gar,” lanjutnya.
Egar tak menjawab, wajahnya datar seperti biasa, ia bahkan tak mengantarkan Awan, setidaknya sampai pintu gerbang. Egar terus mengingat dan mempelajari setiap kalimat yang diucapkan Awan tadi, dalam benaknya bertanya-tanya, apakah ia mau mempengaruhi dirinya. Lalu, Egar beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menyusul Awan.
“Awan..” panggil Egar.
Awan membalikkan badan, mata mereka saling bertatapan.
“Biar Mamang yang mengantarkanmu,” pintanya, ia menarik tangan Awan, mengajaknya menuju mobil yang terparkir di garasi, Mamang pun terkesiap dan lekas menyiapkan mobil tersebut.
“Terimakasih, teman,” ucap Awan.
“Teman?” Egar tercenung, lalu kembali menatap mata Awan, “Dari sorot matanya sama sekali tidak ada kepalsuan,” bathin Egar. Setidaknya, Egar menguasai ilmu membaca sorot mata orang dari buku-buku psikologi itu.
“Ayo Nak Awan, Mamang antarkan,” sahut Mamang.
“Silahkan, teman....” ucap Egar.
Kini giliran Awan yang tercenung, teman? Ia membalikkan badan lagi dan menatap mata Egar. Teman? Baru saja Egar memanggilnya teman?
“Kamu memang pandai memainkan raut wajah, tapi saya tidak akan terpengaruh, saya akan tetap mengkritik sekolah itu beserta orang-orang yang memiliki sifat seperti kamu,” lanjutnya.
Awan pun kembali lesu, ia menundukkan kepala dan memberikan sebuah jempol kepada Egar, “Aku tak akan pernah lelah Gar, Bu Mira telah mengajarkan banyak hal kepadaku, dan aku juga banyak belajar dari hidup ini. Kamu tetaplah temanku,” pungkas Awan. Dan Mobil Pajero sport perak itu mengantarkan Awan, sementara Egar mematung ditempatnya, melihat mobil itu melaju hingga tak terlihat lagi olehnya.
“Teman?” pekiknya.
Ia teringat percakapan dengan Kak Refan dulu.
“Ketika tidak ada satu orang pun bisa memahami kita, mungkin ada satu orang yang akan mengerti,” ucap Refan.
“Siapa? Pacar?” Egar menebak.
“Bukan.”
“Lalu?”
“Teman.”
“Teman?” Egar mengernyitkan dahi.
“Sejak kecil kita tidak pernah punya teman, kita hanya berdua, dalam rutinitas ini,” lanjut Refan.
Egar pun terdiam, gemerisik angin sore semakin mengusiknya, dedaunan yang runtuh menambah keadaan semakin hening, kini ia sepi lagi dalam kesunyian itu, setelah Awan datang beberapa saat menemaninya.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak