Ritus Kesunyian (44)



#10
Teman?
Bu Mira duduk santai di taman rumahnya, ditemani segelas teh, dan koran pagi. Jarang-jarang sekali ia memiliki waktu luang seperti ini, hari minggu seperti ini memang spesial, namun ia tidak pernah punya seorang pun untuk menemaninya di hari libur ini. Ia menyeruput teh hangat itu dan mulai membuka setiap halaman dari surat kabar pagi itu, dan ia tertarik dengan sebuah opini dari seorang bernama Guntur Abadi.
Ia membaca opini itu sampai habis, ternyata itu adalah sanggahan terhadap pemikiran Prof. Wahliya, dan di essay itu, ia melihat ada pembelaan yang jelas terhadap lembaga yang dipimpinnya ; SMA Cahaya Hati. Bu Mira semakin penasaran, ia membaca siapa nama penulisnya. Guntur Abadi, Direktur Nurani Institute.
“Siapa dia?” sebuah pertanyaan berkelindan dalam benak Bu Mira.
****
Di kantor sebuah LSM
Seorang Pemuda tersenyum puas dengan sebuah opini yang terpajang di surat kabar lokal pagi itu, ia menulis essay itu dalam waktu satu malam dan dengan lihai melobi pihak media agar memuatnya.
“Bang Gun, opininya bagus sekali, terasa menyentuh, tapi tumben sekali Bang Gun konsen ke Pendidikan?” tanya Muklas, teman dekatnya di LSM.
“Ini penting Klas, kakek lah yang menyarankanku untuk menulis ini, semoga bermanfaat.”
“Abah? Sepertinya kalian sekongkol ya?” Muklas berseloroh.
Guntur hanya tersenyum, ia pandangi sebuah foto perempuan yang telah ia ambil dari website dan ia masukkan ke ponselnya. Sebuah ekspresi kerinduan yang tidak bisa ditutupi.
“Apa kabar, Ma?” bathinnya. Tak terasa, airmata menepi, Guntur segera mengusapnya dan melanjutkan pekerjaannya, masih banyak naskah yang harus ia edit. Jika waktunya sudah tepat, ia akan menemui perempuan itu, “Aku akan terus bersama Mama untuk menyelamatkan sekolahan itu,” lanjutnya dengan senyum bahagia.
****
Di rumah Egar
Dengan berat Awan membuka matanya, terlihat langit-langit bewarna hijau dengan ornamen yang megah. Ia mengalihkan pandangan dan melihat Egar tengah duduk didepan komputer, tengah menulis sesuatu. Sinar matahari yang menyusup dari jendela, membuatnya terpicing.
“Kamu ceroboh sekali,” respon Egar,”Harusnya kamu memikirkan keadaanmu, kamu berlari terlalu kencang dan membuat kondisimu memburuk,” lanjutnya.
Awan melihat jam dinding, sudah hampir jam delapan pagi, ia mencari ponselnya, lalu Egar berjalan ke arahnya dan menyodorkan ponsel itu.
“Dari tadi seseorang meneleponmu,” ucapnya. Awan meraih ponsel itu, melepas oksigen yang terpasang dimulutnya dan melihat panggilan tak terjawab serta sms yang masuk. Lalu ia menelepon balik memberitahukan keadaannya, ia akan mengatakan pada orang tuanya jika kondisinya baik-baik saja dan kini dia sedang berada di rumah temannya.
“Kenapa kamu pintar sekali menyembunyikan sesuatu?” Egar kembali berkomentar, “Kamu harusnya mengatakan pada mereka jika penyakitmu kambuh,” lanjutnya.
“Nggak, aku nggak apa-apa kok,” jawab Awan, suaranya masih terdengar parau.
“Makanlah, sejak kemarin sore kamu belum makan, “ pinta Egar.
Awan melihat sebuah hidangan telah tersaji di meja dekat dirinya berada.
“Aku nggak ingat apa-apa, terakhir kali yang kuingat, kita dikejar anjing setelah pulang dari Masjid dan aku lari ketakutan, dan setelah itu aku nggak ingat apa-apa lagi.”
“Kamu begitu paranoid dengan anjing.”
“Jadi kamu yang telah menolongku? Terima kasih banyak, Gar. Maaf merepotkan.”
Egar terdiam, ia melihat raut wajah Awan yang pucat pasi, bagaimana pun juga, ia merasa ada sosok Refan yang hidup dalam tubuh Awan, ia merasa khawatir sesuatu terjadi padanya. Sebuah kekhawatiran yang sangat jauh dari sikap dinginnya selama ini.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak