Ritus Kesunyian (41)





 “Ini bukan soal Bu Mira, tapi ini soal keluarga kita, Nak.”
“Keluarga?” tiba-tiba Egar merasa asing sendiri mendengarkan kata itu.
“Ada satu hal yang hilang dari keluarga kita, Nak.”
“Yang hilang?”
“Ya, dan kamu tidak akan menemukannya dalam teori atau angka-angka itu.”
Tut...tut...tut....
Telepon terputus, sepertinya Papa Egar sengaja memutusnya, membuat diskusi semakin menggantung, dan Egar pun mulai merasakan kegamangan.
“Apa maksud Papa dengan sesuatu yang hilang itu?” pekik Egar, kini hidupnya dihadapkan pada teka-teki baru yang dibuat Papanya.
****
Di ruang kepala sekolah
“Ibu juga tidak tahu,” jawab Bu Mira.
Awan hanya terdiam, ia tertunduk, sepertinya rencana mereka berdua tidak berjalan begitu mulus, sebagaimana rencana awal.
“Ternyata tidak semudah yang kita bayangkan, maafkan Ibu karena telah banyak membebanimu,” lanjut Bu Mira.
Awan mendongakkan kepala, menatap dengan seksama wajah Bu Mira yang terlihat sembab. Ia tahu jika selama ini banyak sekali tekanan pada Bu Mira, tekanan dari banyak pihak untuk segera mengeluarkan Egar, bahkan tak sedikit orang tua yang mengancam akan memindahkan anaknya jika Egar tidak juga dikeluarkan. Dan disisi lain, ia memiliki tujuan mulia untuk menyelamatkan sebuah keluarga. Sangat tidak mudah berada di posisi Bu Mira sekarang ini.
“Bu,” ucap Awan, “Serahkan ini kepada saya, saya akan melakukannya semaksimal mungkin. Ini tidak hanya menyelamatkan satu orang, tapi ini akan menyelamatkan banyak orang,”
Bu Mira terperangah, terlihat raut wajah optimis, semangat anak muda yang tiada padam.
“Awan...” Bu Mira melihat sesuatu yang terpancar terang dari sosrot mata Awan, sorot mata seorang anak yang telah kehilangan kedua orangtua ketika usianya masih sangat kecil. Ia paham betul sejarah kehidupan Awan. Sejak kecil, ia memang melihat sesuatu yang berbeda dari anak itu. Awan telah mengingatkannya pada seseorang.
“Anak itu.... telah meninggalkan sesuatu yang membekas,” lanjut Bu Mira, “Dia sama sepertimu, dia tidak terlalu pintar di sekolah, tapi dia sangat peduli dengan siapapun, namun....”
Awan menyimak kata-kata Bu Mira dengan seksama.
“Ibu selalu menilai jika kecerdasan hanya masalah angka-angka dan nilai matematik, ia memiliki kecerdasan lain yang tidak pernah diakui banyak orang, sampai akhirnya ia pun pergi dan entah sekarang ada dimana,” lanjut Bu Mira.
Awan hanya terdiam. Terkenang masa lalu pahit Bu Mira, sebuah penyesalan yang tak sanggup ia tolerir. Gara-gara sikap kakunya, Bu Mira telah kehilangan anak yang ia cintai, dan sejak itulah ia berubah.
****
Di sebuah galeri seni pahat
“Sekolah ini bagus sekali, tapi sayang, sudah terlambat. Dalam waktu dekat, pemerintah pasti akan menutupnya,” ucap pria itu setelah membaca sebuah opini di koran yang mengkritik SMA Cahaya hati.
“Andaikan dulu ada sekolah semacam itu, pasti kau akan betah sekolah disana ya,” sahut seorang lelaki tua yang sedang asyik memahat sebuah kayu.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak