Ritus Kesunyian (35)





 “Gar, ini udah malam, apa yang kamu lakukan ....”
“Diam...” Egar membentak, Awan pun tersentak, “Kamu jangan menjadi orang yang sok perhatian seperti ini, jangan membuat saya untuk teringat dengan seseorang, kamu harus..”
“Gar...” Awan memotong, lalu ia menjulurkan tangan untuk mengajaknya berdiri, “Kamu harus berhenti untuk mengutuki keadaan, kamu harus berhenti untuk menyalahkan Kak Refan,” lanjutnya.
“Sejak kecil aku pernah mengalami kesendirian itu, kesunyian yang begitu mengerikan, aku kadang iri melihat mereka yang bisa berbahagia dalam hidup ini, mereka yang memiliki keceriaan dengan orang-orang yang mereka sayangi dan menyayangi mereka. Hidupku begitu sangat sepi, namun....”
Awan tertunduk sejenak, “Sejak mereka mengasuhku untuk menjadi anak, dan ketika aku bertemu dengan teman-teman itu, aku merasa jika hidupku tidak sesepi itu, aku mulai belajar tersenyum, belajar menemukan kebahagiaan, belajar memaknai hidup ini...”
“Kamu terlalu cengeng, justru orang yang berfikiran cengeng seperti kamu itulah yang membuat hidup banyak orang menderita, Kak Refan memiliki cara berfikir yang sama dengan kamu, akhirnya dia mengalami penderitaan dan bunuh diri. Kamu jangan mencoba mengajak saya untuk masuk dalam dunia kenaifan seperti itu,” Jawab Awan dengan penuh emosi.
“Gar..”
Egar berdiri, lalu mendorong Awan hingga jatuh tersungkur.
“Justru orang-orang seperti kamu inilah yang sangat saya benci, saya tidak akan membiarkan kejadian itu terulang kedua kali, rasa sakit itu, saya berjanji akan menghancurkan orang-orang seperti kalian, saya akan tunjukkan jika persepsi kalian selama ini salah. Saya akan tunjukkan jika sekolah yang mengajarkan konsep kebebasan seperti sekolah itu hanya akan membuat muridnya tersiksa dan bunuh diri, seperti apa yang dialami oleh Kakak saya.”
Dengan susah payah Awan berdiri, lalu menatap wajah Egar yang nampak berbeda malam itu, ia tahu betul dengan apa yang dirasakan Egar, karena ia sudah banyak mendapatkan cerita dari Mamang dan Bu Mira tentang Kak Refan.
“Saya tahu jika kamu dan Bu Mira telah bersekongkol untuk mempengaruhi saya agar berfikiran seperti kalian dan juga Refan, saya tidak akan biarkan itu terjadi. Justru sebaliknya saya akan buat kalian merasa menyesal karena telah berfikiran seperti itu,” tegas Egar sambil berjalan meninggalkan Awan, Awan hanya terpaku ditempatnya. Egar telah mencoba mengubur segala hal tentang Refan, dan merasa jika Refan adalah orang terjahat dalam hidupnya.
Egar berjalan menyusuri kompleks perumahan itu, sampai akhirnya di pos satpam, disana Mamang sudah cemas mencarinya.
“Itu bukan?” tanya salah seorang satpam sambil menunjuk ke arah Egar. Mamang membalikkan tubuh dan matanya berbinar melihat Egar yang berjalan sendirian malam itu. lalu, dengan segera Egar memerintahkannya untuk pulang.
Sesampainya di rumah, Egar langsung menuju kamarnya, dengan tergesa-gesa Mamang menyusulnya sambil membawa lukisan itu.
“Den,” panggil Mamang. Egar membalikkan badan dan melihat sebuah lukisan dibawa Mamang, “Bu Mira meminta saya untuk memberikan ini pada Aden,” lanjutnya. Dengan dingin Egar meraih lukisan itu dan membawanya ke kamar. Ia letakkan lukisan itu di atas meja. Sejenak ia pandangi lekat-lekat, ia sendiri belum begitu memahami apa makna dari lukisan tersebut. Tapi, rasa penasarannya masih menggeliat.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak