Ritus Kesunyian (32)



#7
Lukisan yang tak utuh
 
Egar terus penasaran dengan cerita Mamanya, ingin sekali ia mendengar kelanjutan cerita itu, tapi setiap kali ia menghubungi Mamanya, selalu saja sibuk. Dan beberapa jam kemudian sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya, itu pesan dari sang Mama.
"Mama tahu jika kamu ingin menanyakan sesuatu tentang Refan dan perempuan yang bernama Mira itu, kalau itu yang ingin kamu tanyakan, jangan hub. Mama. Kamu harus mulai melupakan Refan.”                                                            
Egar tak membalas, ia memang ingin melupakan Refan, bahkan membuang jauh-jauh berita tentangnya, namun cerita Mamanya itu membuatnya bertanya-tanya. Berarti selama ini ada banyak hal yang disembunyikan oleh Kakaknya itu. Ia tak pernah tahu Refan punya hubungan dengan Bu Mira, lalu apa hubungan mereka? Dan apa yang direncanakan Bu Mira padanya? Ia merasa menjadi orang bodoh yang tak tahu apa-apa, termasuk misteri kematian Refan.
Egar termasuk tipikal anak yang sensitif, ia mampu membaca ekpresi orang dengan baik, sejak awal ia sudah merasa aneh dengan gelagat Bu Mira. Meskipun baru bertemu, ia merasa jika Bu Mira bukan orang yang asing dalam hidupnya, bahkan sangat dekat, dekat sekali. Siapa Bu Mira itu? benaknya terus menerka.
Egar membuka laptopnya, menelusuri biodata Bu Mira dalam internet, di era secanggih ini, sangat mudah mempelajari riwayat hidup seseorang. Ternyata Bu Mira bukan orang yang susah untuk dicari, banyak situs yang menulis tentang dirinya, bahkan ia punya website sendiri.
“Mira Sasmita?” Egar agak terkejut melihat nama kecil Bu Mira sebelum diganti menjadi Mira Sandiora. Ia terus melanjutkan membaca biografi Bu Mira. Lalu ia membaca kumpulan essay yang ditulis kepala sekolahnya itu, ternyata sudah banyak karya tulisnya, ia membacanya dengan seksama, dengan kemampuan membaca cepat dan ingatan yang kuat, Egar bisa dengan mudah menghabiskan puluhan halaman dalam waktu beberapa menit saja.
...Pendidikan bukan semata membangun kemampuan intelektual, tapi juga harus menyentuh hati nurani, agar ia tidak hanya pintar secara rasional, tapi juga memiliki sensitifitas bathin yang kuat, perasaan yang lembut, dan moral yang tertata....
...Pendidikan harus bisa membebaskan anak untuk memilih yang terbaik dalam hidupnya, ada yang pandai dalam matematik, fisika, kimia, tapi ada juga yang pandai dalam hal seni dan olah raga. Diantara mereka tidak ada yang lebih pintar, semua pintar menurut kadar dan spesifikasi masing-masing. Jangan memaksakan anak untuk sesuai dengan apa yang kita pikirkan, karena dia bukan robot yang mati, dia adalah entitas yang hidup dan berperasaan...
Egar terdiam sejenak membaca essay itu, “Ternyata ini yang membuat Mama dengan tegas menentang konsep sekolah tersebut,” pekiknya. Malam itu, ia terus mempelajari tulisan-tulisan Bu Mira, sampai ia pada sebuah tulisan yang berjudul “Ia memilih kematian untuk menyelamatkan banyak orang.”
Membaca tulisan itu, Egar tertegun, jiwanya sangat bergejolak. Langsung ia meminta Mamang untuk mengantarkannya ke rumah Bu Mira.
“Aden mau ke rumah Bu Mira?” tanya Mamang yang keheranan.
“Jangan tanya lagi, cepat antarkan saya,” tegasnya.
Lalu dengan segera Mamang menyiapkan mobil dan mengantarkan Egar ke rumah Bu Mira. Egar memandu arah, meskipun ia baru sekali melihat alamat itu, namun ia bisa menerka dengan baik dimana letak rumah Bu Mira. Malam itu, jalanan kota Malang lumayan lenggang, dan Mobil pajero sport perak itu berhenti disebuah rumah yang cukup besar, namun arsitekturnya begitu klasik.
Egar segera turun dari Mobil dan menuju rumah itu, Mamang dengan tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang.
“Iya, cari siapa, Nak?” tanya pembantu Bu Mira.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak