Ritus Kesunyian (29)



 “Ini sekolahan yang terbaik bagi manusia, tidak ada yang lain.”
“Kalau anda yakin sekolah ini baik, kenapa anda harus takut jika saya mencari keburukan dari sekolah ini?”
Pak Yusliar terkesiap, ia terdiam, memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan itu.
“Sama halnya ketika anda dituduh salah, padahal anda tidak salah. Harusnya anda tidak perlu khawatir jika anda memang benar. Seperti sekolah ini, jika kalian yakin bahwa sekolah ini baik, kenapa harus khawatir jika saya akan membongkar keburukannya? Ini menunjukkan jika ada sesuatu yang kalian tutupi,” lanjut Egar.
Pak Yusliar semakin terpojok. Sementara Bu Mira dan Pak Dibyo saling berpandangan, Pak Daus pun tak angkat bicara, begitu pula dengan guru-guru yang lain.
“Tapi niat kamu sudah salah,” sahut Bu Esti, salah satu guru yang hadir dalam pertemuan itu. “Kalau sekolah disini, niatnya adalah menuntut ilmu, bukan mencari keburukan sekolah,” lanjutnya.
“Bukankah saya sudah niat untuk belajar disini? Mempelajari konsep pendidikan disini? Mana niat yang salah? Hanya saja, ketika beberapa minggu belajar disini, saya menemukan ada yang ganjil dan itu sangat buruk bagi anak didik. Jangan pernah mencampurkan persepsi anda dengan kenyataan yang ada di dalam benak saya, karena itu akan menjadi fitnah.”
“Lalu bagaimana dengan berita di koran itu?” sambung Pak Rudi, Egar terus mendapatkan pertanyaan yang bertubi-tubi.
“Siapa yang bilang demikian? Saya atau Mama saya?” Egar berbalik tanya. “Saya tidak pernah ditanyai oleh wartawan yang menulis berita itu, jika ingin tanya tentang isi koran itu, tanya ke Mama saya,” lanjutnya.
“Kamu ini, pakai sopan santun kalau bicara dengan guru,” teriak Pak Darwis dengan nada tinggi sambil berdiri dari tempatnya.
“Apakah cara anda dengan bernada emosional itu juga sopan? Anda guru, anda harusnya memberi contoh, anda menyuruh saya sopan padahal anda juga sangat tidak sopan. Saya hanya menjawab pertanyaan dari kalian, kenapa saya dihujat seperti ini?”
Pak Darwis mengambil buku yang ada di depannya dan hendak melemparkannya ke Egar, namun Pak Daus dengan segera meredamnya.
“Anda lucu sekali Pak, anda sangat tempramen. Orang seperti anda tidak pantas jadi guru,” sindir Egar.
“Baik, kalau begitu bapak akan tekankan satu hal ke kamu,” Pak Yusliar kembali mengambil alih pembicaraan, “Kamu harus klarifikasi ke media jika kamu pindah kesini adalah untuk belajar dan kamu harus berjanji tidak akan menunjukkan keburukan sekolah ini sebagaimana yang ditulis di media itu.”
“Tapi saya harus jujur,” respon Egar, “Bukanah sekolah ini menekankan kejujuran sebagai hal yang mendasar? Jika suatu ketika saya menilai ada keburukan di sekolah ini, apakah saya harus berbohong?”
Pak Yusliar terlihat geram, lalu ia memandang ke Bu Mira yang sejak tadi belum membuka suara. Keputusan Bu Mira sangat menentukan, apakah Egar akan dikeluarkan atau terus belajar disini.
“Silahkan nak Egar,” ucap Bu Mira, “Silahkan nak Egar mempelajari konsep pendidikan di sekolah ini, dan jika ada yang salah nak Egar bisa mengkritik dan memberi masukan untuk perbaikan sekolah ini. Tentu sebagai kepala sekolah saya sangat senang.”
Seisi ruangan terperangah. Termasuk Pak Yusliar, ucapan Bu Mira itu sangat meresahkan. Setelah itu, Bu Mira mempersilahkan Egar kembali ke kelas. Pak Yusliar dan para guru tertegun, tatapan mereka fokus kepada Bu Mira.
“Apa Ibu sadar dengan apa yang Ibu ucapkan dan dengan siapa Ibu berbicara? Anak itu bukan anak sembarang, dia anak seorang tokoh besar yang secara terbuka memandang rendah sekolah kita. Dan dia dididik oleh sistem pendidikan yang selama ini kita kritik Bu,” protes Pak Yusliar.
“Saya tahu Pak, tapi untuk kali ini tolong beri saya kesempatan untuk menentukan pilihan yang mungkin saja tidak akan sejalan dengan bapak dan para guru. Saya tidak mungkin membiarkan sekolah ini hancur hanya karena satu anak itu. Saya hanya butuh kepercayaan dari bapak dan Ibu guru sekalian.”
“Ini untuk pertama kalinya saya gagal memahami jalan pikiran Bu Mira, semoga saja keputusan Bu Mira ini tidak berujung fatal, saya sangat mempercayai Bu Mira, dan selama ini Bu Mira telah membuat banyak orang percaya tentang konsep Pendidikan itu,” ucap Pak Yusliar yang terlihat gusar.
Bu Mira terdiam. Pertemuan itu tak memberikan keputusan yang pasti, Egar masih terdaftar sebagai siswa SMA Cahaya hati dalam waktu yang belum di tentukan.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak