“Maksudnya?” Fian ikut dalam pembicaraan.
“Udahlah, ntar aku jelasin.”
Dan mereka tiba di kamar VIP tempat Egar berada, dengan hati-hati Awan membuka pintu, ia melihat Egar sedang melihat buku krayon itu sambil duduk menghadap ke jendela luar.
“Egar,” ucap Awan.
Egar menutup buku itu dan menaruhnya di atas meja kecil dekat jendela. Lalu berdiri dan menghadap ke arah mereka.
“Kamu sudah bisa berdiri?” tanya Awan.
“Kamu lihat sendiri, kan?” jawab Egar dengan ekspresi datar. Ia tak mempedulikan Edo, Fajar dan Fian yang tengah berdiri mematung dihadapannya.
“Mereka datang menjengukmu,” lanjut Awan.
“Silahkan,” jawab Egar, lagi-lagi dengan ekspresi yang kaku dan tak bersahabat.
Edo, Fajar dan Fian duduk di kursi tamu. Mereka bertiga merasakan begitu nyaman dan mewahnya ruang VIP itu. Sementara Awan berjalan ke arah jendela, mendekati buku kecil yang tergeletak di atas meja kecil itu, ia penasaran dengan gambar yang ada di dalamnya.
“Jangan sentuh buku itu,” pekik Egar sedikit membentak.
Ternyata Egar tahu jika Awan ingin melihat isi dari buku kecil itu. Awan begitu penasaran dengan buku gambar kecil itu, seperti ada sisi lain yang harus ia ketahui dari Egar.
“Aku hanya ingin melihat gambaranmu,” pinta Awan.
“Kamu bisa menggambar jauh lebih bagus dari itu,” jawab Egar sambil menyahut buku itu dan mendekapnya denga erat.
Edo, Fian dan Fajar hanya mematung dan menjadi penonton. Egar terlalu kaku untuk diajak berbincang, apalagi bercanda.
“Awan, ayo kita pulang saja,” ajak Edo yang terlihat tak nyaman.
“Iya, lagipula ini udah sore bro,” sambung Fian.
Namun Awan memberikan sinyal sebaliknya. Edo dan Fian menggerundal.
“Kalau kalian ingin pulang duluan, pulang saja. Aku masih ingin disini, menemani Egar,” jawab Awan sambil memandang ke arah Egar.
“Huh,” Edo mulai kesal, ia berdiri dan berjalan keluar ruangan, Fian mengikutinya dari belakang, sementara Fajar berdiri dan tersenyum ke arah Awan dan Egar, ia menyusul Edo dan Fian yang sudah lebih dulu keluar ruangan.
“Kamu tidak ingin ikut mereka? Lagipula untuk apa kamu masih disini?” pekik Egar.
“Aku masih ingin menemanimu,” jawab Awan.
“Kamu aneh.”
“Menurutku biasa saja.”
“Awan Prasetya, usia 17 tahun, pandai menggambar, dan begitu peduli dengan teman-temanya, apakah ini bentuk kepedulian kamu juga?” Egar membuka diskusi baru.
“Hmm.. kamu sudah tahu banyak tentang aku.”
“Saya membaca itu dari profil yang dipajang di kelas,” jelas Egar.
“Jadi selama ini, kamu ....”
“Jangan bilang saya memperhatikanmu, saya tahu banyak hal tentang orang-orang, yang mereka bahkan tidak menyadarinya. Dan saya juga tahu jika kamu tahu banyak tentang Refan.”
“Refan?”
“Saya masih ingat kejadian waktu jam olahraga itu, saya yakin kamu tidak salah ucap. Sekarang coba jelaskan, darimana kamu tahu tentang Refan? Kamu terlalu polos untuk bersandiwara”
Awan terkejut, ternyata Egar telah menyadari dirinya selama ini, termasuk tentang Kak Refan. Sore itu, ia merasa diinterogasi oleh Egar. Padahal, Bu Mira dengan tegas mewanti-wanti jangan pernah menyebut nama Refan didepan Egar, jika waktunya belum tepat.
“Saya juga tahu jika kamu sedang menyembunyikan sesuatu kepada teman-temanmu,” lanjut Egar dengan nada menyelidik.
“Menyembunyikan sesuatu? Maksud kamu apa Gar?” Awan mulai bingung.
“Saya bukan anak bodoh Awan, sejak kecil saya sudah membaca banyak buku tentang psikologi. Dan kemungkinan salah itu sangat sedikit, kamu sedang menyembunyikan sesuatu, tentang dirimu.”
Tags:
RitusKesunyian