#3
Dan akupun nyaris lupa bagaimana harus tersenyum
Sudah hampir satu minggu Egar menghabiskan waktu di sekolah barunya, sekolah yang secara kultur sangat jauh dari sekolahnya terdahulu. Sekolah pertamanya, adalah sebuah yayasan yang dirintis oleh Mamanya. Sebuah sekolah swasta yang begitu terpandang, disana sebagian besar siswanya menghabiskan waktu di depan layar komputer atau laptop, sementara pembelajaran berlangsung secara online. Mereka hanya bertatap muka dengan Guru pada saat-saat tertentu saja.
Sekolah itu mengadopsi sistem pembelajaran berbasis multimedia yang tengah berkembang di eropa. Bahkan siswa tidak perlu datang ke sekolah setiap hari, cukup dengan berdiam di depan monitor, segala akses informasi hingga kegiatan Pembelajaran bisa berlangsung. Dari sitem itulah, banyak lahir siswa-siswi yang jenius. Sekolah itu sering merebut juara olimpiade, dan berdasarkan nilai rata-rata, sekolah itu selalu unggul.
Egar adalah salah satu siswa yang sejak kecil dibentuk oleh sistem Pendidikan disana. Ia bahkan menjadi sorotan banyak pakar karena kemampuan mengingatnya yang luar biasa, cukup sekali membaca atau mendengarkan, ia akan segera menangkap dan menyimpannya dengan kuat di memori otak. Tapi disisi lain hal itulah yang menyiksa kehidupan Egar.
Ia bisa dengan mudah mengingat hal-hal yang telah terjadi dalam hidupnya, termasuk masa lalu yang pahit tentang Kakak kandungnya. Ia sadar dengan kemampuan mengingatnya yang kuat, ia tak akan bisa melupakan kejadian itu, ia bahkan bisa menghafal secara detail kejadian mengerikan itu, mulai dari tanggal, jam hingga detik yang berjalan. Ingatan tersebut menguras pikirannya, ia tak akan mungkin bisa melupakan, tapi ia bisa membunuh perasaannya agar tak terbawa dengan masa lalu yang melankolis tersebut.
Di dalam kelas
“Sekarang saatnya pelajaran pengembangan diri, mulai sekarang Ibu yang akan memandu kalian,” Bu Mira membuka pelajaran di kelas sebelas bahasa.
Seluruh siswa bertanya-tanya, tidak biasa-biasanya kepala sekolah meluangkan waktunya untuk mengajar, apalagi ditengah kesibukannya memimpin lembaga. Apalagi, ia mengajar sebuah materi yang tak pernah terbayangkan : pengembangan diri.
“Ada beberapa hal yang harus kalian temukan dalam diri kalian jika ingin tumbuh menjadi manusia yang lebih baik,” ucap Bu Mira, “Yaitu, kalian harus mengenali diri kalian terlebih dahulu,” lanjutnya.
“Maaf Bu, bolehkan saya bertanya?” sahut Egar sambil mengacungkan tangannya. Egar sudah menantikan detik-detik seperti ini. Yaitu berdebat langsung dengan Bu Mira.
“Iya, silahkan.”
“Apakah Anda merasa telah mengenali diri anda?” tanya Egar, “Anda lulus sebagai sarjana Ekonomi, lalu kuliah lagi pada jenjang yang sama dengan jurusan yang berbeda. Dan anda mengambil s2 bidang konseling, lalu anda lulus sebagai Doktor bidang manajemen Pendidikan. Jalan hidup anda terlihat begitu tidak terarah,” lanjutnya. Egar sudah membaca profil singkat Bu Mira dari website sekolah.
Seluruh siswa terperangah, pertanyaan Egar sungguh menukik. Bagi mereka itu bukanlah sebuah pertanyaan yang cukup sopan untuk diajukan, terlebih kepada seorang kepala sekolah yang telah rela meluangkan waktunya untuk mengajar.
“Dan sekarang anda mengajarkan pengembangan diri, sungguh sangat tidak relevan.”
Bu Mira tersenyum, ia sama sekali tidak terpancing dengan kata-kata Egar yang menurut sebagian yang lain begitu menyakitkan.
“Banyak orang yang tidak pernah kuliah, tapi dia mampu mengenali siapa dirinya sendiri. Dan begitu pula sebaliknya, banyak yang berpendidikan tinggi, tapi ia tak mengetahui untuk apa ia melakukan itu. Jadi, agaknya gelar akademik kurang begitu relevan untuk dijadikan patokan,” jawab Bu Mira.
“Lalu, menurut anda bagaimana orang yang mengenali dirinya sendiri?” tanya Egar.
Tags:
RitusKesunyian