Egar tersentak, sejurus kemudian matanya beralih ke arah Awan yang tengah berdiri didepannya sambil menggenggam segelas mocca.
“Kak Refan? Apa maksud kamu?” tanya Egar.
“Eh, maaf aku salah, Egar maksudnya, kok kak Refan sih. Maaf ya,” Awan berseloroh.
Egar tak menjawab lagi, ia alihkan pandangan ke arah tabletnya. Tapi ia masih terpaku dengan kesalahan yang diperbuat Awan barusan dengan memanggil dirinya Refan. Refan bukanlah orang asing dalam hidupnya. Ia merasa jika Awan telah membuat kata kunci yang bisa membuatnya kembali pada masa lalu itu. Tapi ia tak ingin membahasnya lebih jauh.
Karena tak mendapatkan jawaban yang jelas, Awan pun dengan senewen duduk di kursi depan Egar. Namun Egar tak juga tertarik untuk meliriknya, Awan tak ambil pusing. Ia tetap menikmati moccanya sambil mengamati aktifitas Egar.
“Kamu suka banget baca ya? Duh rajinnya,” goda Awan.
Tapi Egar tak bereaksi sedikitpun, ia tetap asyik dengan tabletnya. Meskipun pikirannya juga fokus pada kata “Refan” yang baru saja di ucapkan Awan. Nama itu cukup mengusik benaknya.
“Apakah ada hal lain yang kamu sukai selain membaca? Seperti menggambar begitu? Dan membuat cerita berseri?” Awan membuka diskusi baru.
Egar benar-benar terusik, dengan ekspresi datar ia memandang Awan.
“Apa kamu tidak bisa diam? Kamu hanya mengganggu konsentrasi saya,” ucap Egar.
“Maaf, tapi bolehkah aku belajar denganmu? Dengar-dengar kamu anak yang jenius.”
Egar semakin kesal, ia memandang wajah Awan.
“Hal yang paling saya benci adalah ketika waktu saya dihabiskan untuk hal-hal yang tidak berguna, salah satunya dengan melayani ocehan orang seperti kamu, sebenarnya siapa kamu? Huft,” jawab Egar sambil berdiri meninggalkan Awan.
Awan menghelas nafas, ia tak tahu bagaimana cara mengajak Egar berkomunikasi. Sebagai ketua kelas, ini adalah tanggung jawabnya. Mengakrabkan seluruh teman sekelasnya, meskipun itu bukan perkara yang mudah.
Sementara Egar merenung sejenak, ia berfikir tentang Awan yang dengan fatal melakukan kesalahan dengan memanggilnya ’Refan’. Entah itu sebuah kesalahan atau disengaja. Nama ‘Refan’ bukan nama yang asing baginya, bahkan nama itu sungguh dekat dan melekat. Ia juga heran ketika Awan menyebut kata menggambar dan membuat cerita berseri. Dua hal yang mejadi hobi Refan, kakaknya itu.
“Bagaimana mungkin anak itu bisa memanggil saya, Refan?” bathinnya, “Sementara saya sudah melupakan anak itu, anak yang bernama Refan, mungkin saja saya sudah tak lagi mengenalnya,” lanjutnya.
Egar duduk di taman sekolah, memandang poster-poster yang tertulis disetiap sudut. Gemericik suara air mancur semakin membuatnya serasa berada dalam dunia yang begitu asing. Ia pejamkan mata dan kemudian menghirup udara sekitar, benar-benar suasana yang begitu asing.
Tags:
RitusKesunyian