Moment terbaik dalam menulis


Ilustrasi

Menurut saya ada dua moment terbaik untuk mulai menulis. Pertama, Moment sebelum atau selepas subuh. Saat suasana masih cukup hening, udara masih dingin, dan tubuh baru saja terbangun dari istirahatnya. Fresh. Apalagi setelah ibadah. Entah sholat malam atau sholat subuh. Ibadah membuat hati tenang, dan ketenangan hati adalah salah satu instrument penting untuk melancarkan pikiran. Untuk itu, bulan Ramadhan bagi saya menjadi the best month untuk meningkatkan produktifitas menulis.

Menurut Dee Lestari, Pagi adalah the best moment. Bagi Prof. Imam Suprayogo, selepas subuh adalah waktu yang pas untuk menulis. Sebagai Muslim yang memang memiliki Daily-Worship 5 kali sehari, waktu menjelang pagi menjadi moment yang dianjurkan, karena itu adalah moment dimulainya hari. Karenanya, dalam manuskrip Jawa, terbitnya Matahari dari wetan/etan yang diambil dari kata wiwit/wiwitan. Wiwit artinya dimulainya kehidupan, begitupun dengan wiwitan yang berarti pohon yang akan tumbuh.

Ditemani dengan secangkir teh panas atau kopi, atau kalau sedang puasa, bisa mempergunakan waktu menjelang sahur, menulis menjadi tradisi yang sangat saya nikmati. Bagi saya, menulis adalah bentuk lain dari Dzikir. Karena seringkali, dalam proses menulis saya mengingat banyak hal, mulai dari pengalaman, masa lalu, kejadian yang pernah saya temui hingga hal-hal yang bersifat transedental. Tak jarang pula, ketika tak mampu merangkai kalimat dengan bagus, saya berdoa, berdiskusi satu arah dengan Tuhan. Seolah bertanya bagaimana cara agar apa yang ada dalam pikiran saya bisa tertuang dalam bentuk kata, kalimat, dan paragraf.

Bagi anda mungkin aneh. Tapi bagi saya menulis adalah ibadah non-formal.

Kedua. Moment terbaik setelah pagi hari bagi saya adalah sore. Meskipun sore hari kita tak selalu memiliki cukup waktu. Biasanya, bagi yang sekolah, sorenya harus kursus. Bagi yang kuliah, sorenya ada beragam acara organisasi atau komunitas. Bagi pekerja kantoran, sorenya adalah waktu bersantai dan ngopi bareng dengan teman-teman. Bagi wartawan koran harian, nah, sore hari adalah waktunya untuk menuliskan berita. Bagi Ibu-ibu, sore hari adalah waktu bersih-bersih rumah, ngasuh anak, atau masak untuk makan malam. Bagi atlet, sore hari adalah waktu olahraga, main sepak bola, badminton, kasti, tinju, dll.

Tapi sore memang adalah waktu yang baik, setidaknya bagi saya sendiri. Karena sore adalah waktu rehat. Selepas rutinitas pagi hingga siang hari yang panas terik, macet, berisik, berkeringat, lelah, dan apalah-apalah. Sore menjadi waktu yag teduh. Matahari menyala namun tak panas. Apalagi menjelang senja, saat langit barat terlihat kemuning. Disanalah otak berada pada zona nyaman untuk melakukan perenungan. Acara-acara meditasi juga tak jarang diadakan sore hari.

Meditasi itu boleh jadi sejenis dzikir atau tahanus. Mengosongkan diri, memasukkan energi positif dalam tubuh. Meditasi memang tidak terlalu populer dikalangan Muslim, karena itu bisanya tradisi Hindu-Budha. Tapi sebenarnya Nabi sendiri juga sering meditasi, terutama sebelum menerima wahyu. Salah satu meditasinya adalah di Gua Hira. Baru kemudian, aktivitas merenung itu beralih nama menjadi Dzikir atau Tahanus, dengan tujuan yang lebih spesifik : Tuhan.

Menulis bagi saya adalah meditasi juga. Sebelum meditasi, kita dianjurkan untuk mandi setengah badan atau disebut vyapak saocha. Titiknya antara lain kaki, tangan, dan wajah. Kalau dalam Islam itu sejenis wudhu sebelum sholat. Jadi selepas sholat Ashar, bagi saya adalah moment terbaik untuk menulis. Karena dalam menulis, sama halnya dengan meditasi, adalah upaya untuk mengosongkan diri kita. Mencoba menciptakan diri kita sebagai mahluk yang netral, tak berpunya, dekat dengan alam, dan hidup dalam naungan Tuhan.

Maka, diluar dari aktivitas menulis, saya boleh saja memiliki egoisme, fanatisme kelompok, sifat ingin di-aku-i, dan lain-lain. Tapi dalam tulisan-tulisan, saya mencoba menjadi sosok yang netral dan egaliter agar saya bisa menyerap banyak hal mulai dari informasi atau rasa yang barangkali tidak bisa kita terima dalam diri kita. Jadi, tulisan-tulisan saya adalah the real me of the deepest time. Tulisan-tulisan saya adalah sisi paling ideal dalam diri saya yang merupakan mahluk zero ambitious.

Sisanya, malam selepas magrib atau menjelang tidur, adalah waktu yang pas untuk membaca, menonton film atau berita. Tapi jika sore hari tak punya waktu untuk menulis, bisa diganti menjelang tidur. Namun bagi saya pribadi, jika menulis menjelang tidur, biasanya terbentur dengan kantuk. Hasilnya, biasanya tertidur di depan laptop atau diatas buku tulis.

Namun terlepas dari semuanya, agar bisa menulis, kita memang harus berdamai dengan diri sendiri. Sembari menempatkan diri kita sebagai mahluk yang ingin terus belajar. Semoga bermanfaat. (*)

19 Maret 2015
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak