Menulis, bernyanyi dan menggambar


Ilustrasi

Sejak kecil, saya pernah bercita-cita menjadi penyanyi. Meskipun saya seorang yang sangat pemalu. Jangankan menyanyi di atas panggung, menyanyi di depan satu orang saja rasanya malu sekali, kecuali jika pelajaran kesenian, saya sangat senang sekali ketika mendapatkan giliran bernyanyi di depan kelas. Meskipun harus menyanyikan lagu-lagu wajib. Selain menyanyi, saya juga senang sekali menggambar. Meskipun gambaran saya tak terlalu bagus alias jelek sekali. Tapi anehnya, saya sangat suka sekali menggambar dan selalu bercita-cita bisa menggambar dengan bagus.

Sekarang, dua hal itu serasa sangat jauh sekali dari dekapan. Saya bisa bernyanyi, seperti halnya semua orang juga bisa bernyanyi. Namun, yang membedakan penyanyi dengan bukan penyanyi, adalah ketika bernyanyi. Seorang penyanyi memang memiliki suara khas dan bagus. Sementara suara saya, lumayan cempreng untuk ukuran penyanyi dan tipe suaranya sangat tipis. Bahkan susah sekali kalau harus menyanyikan lagu dengan nada tinggi. Meskipun menurut beberapa teman, suara saya jarang fals.

Begitu pun dengan menggambar. Entah kenapa, kemampuan menggambar saya tak kunjung meningkat. Sama saja seperti dahulu. Atau jangan-jangan, menyanyi dan menggambar itu adalah bakat? Justru sejak kecil, saya tak pernah terfikir untuk menggeluti dunia menulis, bahkan untuk bergabung dengan komunitas menulis. Karena sejak kecil, saya justru tertarik untuk bernyanyi dan menggambar, terutama membuat sebuah komik.

Karena hal itulah, diam-diam saya tertarik dengan seseorang yang dia pintar bernyanyi, bermain musik, dan menggambar. Karena menurut saya, tiga hal itu begitu menakjubkan, menyenangkan, dan membuat hidup lebih bewarna. Selama ini, saya hanya sering mendengarkan lagu-lagu dan mengoleksi lukisan-lukisan (via image). Kadang saya pergi karaoke atau ke pameran lukisan. Namun meskipun begitu, saya juga pernah manggung sebagai penyanyi pembuka pada perpisahan sekolah, tepatnya di tahun 2008. Ketika OSIS memilih saya sebagai MC Pria, dan saat itu pula saya sekaligus menjajal keberanian saya bernyanyi. Saya masih ingat sekali, pertama kali manggung, saya menyanyikan lagunya Opick berjudul Sedekah. Duet dengan teman sekelas saya, anak teater bernama Aulia.

Saya juga beberapa kali membeli buku gambar, buku skets, atau kanvas. Namun tetap saja, meskipun mencoba menggambar atau melukis dari hati, seperti ada rasa tak puas dengan hasilnya yang sangat jelek dan tak indah di pandang. Akhirnya, untuk buku gambar dan buku skets, saya biarkan kosong di halaman selanjutnya yang belum tercoret. Untuk aktivitas bernyanyi sendiri, saya beberapa kali membuat rekaman sederhana, yang kemudian saya upload ke soundcould atau youtube, namun hanya versi audio. Selain lagu, saya juga membaca puisi yang kemudian saya rekam.

Hingga saat ini, di usia 22, saya sadar diri jika harapan menjadi penyanyi, penggambar, atau pelukis itu sangat jauh saya dapat. Sekarang ini, kemungkinan terdekat saya adalah menjadi penulis. Ternyata menulis lebih mudah dipelajari daripada menyanyi, menggambar, atau melukis. Menulis hanya butuh ketelatenan dan kebiasaan. Soal bakat nomor kesekian. Namun menyanyi, menggambar, atau melukis, selain harus latihan, faktor bakat dan kecerdasan dasar begitu berpengaruh kuat. Terutama, kecerdasan visual dan musikal.

Seperti saya, yang mencoba belajar bermain gitar, namun susah sekali pahamnya. Bukan soal chord, tapi mangarahkan jari jemari untuk memetik gitarnya. Saya hanya bisa memainkan bass, dan itu pun dalam taraf yang sangat sederhana. Beberapa hari yang lalu, saya juga baru saja membeli recorder-soprano yang mirip seruling itu. Namun naas, saya juga tak bisa memainkannya. Padahal, saya sangat berharap bisa memainkan recorder itu, seperti halnya para seniman-seniman yang nampak asyik dengan alat musik mereka : gitar, pianika, harmonika, seruling, dan kecapi. Kini, recorder itu hanya tergeletak, sesekali saya gunakan untuk sekedar meniup semaunya, tanpa nada-nada yang teratur.

Menurut saya, penyanyi lebih dominan dari bakat dan takdir suara. Karena setiap orang tercipta dengan ciri khas suara masing-masing. Misalkan, bisa saja saya ikut kurus vokal. Melatih gaya pernafasan, teknik vibrato, falseto dan sebagainya. Namun karakter suara saya tak pernah bisa mengalahkan Afgan. Menurut Ahmad Dhani, orang bernyanyi itu seperti halnya pacaran. Ia berjalan alamiah dan kadang tak perlu berlatih. Maka, dalam bernyanyi, bakat atau ciri khas sangatlah dominan.

Begitupun dengan menggambar, dalam literature yang pernah saya baca, seorang yang pandai menggambar atau melukis, memiliki kecerdasan visual yang tinggi. ia bisa menangkap suatu objeck dengan sangat baik dan kemudian bisa “menirunya” dalam sebuah gambar atau lukisan. Bahkan bisa sampai hafal detail bentuknya. Meskipun hal tersebut bisa dipelajari, namun prosesnya tidak mudah. Kecerdasan dasar, geneologi, atau kemampuan daya tangkap sangat berpengaruh.

Sementara untuk menulis, prosesnya lebih sederhana. Hanya butuh banyak membaca dan mencoba untuk bisa menulis. Bakat mungkin diperlukan, kecerdasan dasar berupa sensitifitas menangkap fenomena sosial mungkin juga diperlukan, tapi tak terlalu dominan seperti halnya bernyanyi, menggambar atau melukis. Sekarang ini, hanya menulis yang masih bisa saya geluti dan saya teruskan. Meskipun masih ada secuil angan-angan untuk bisa bernyanyi lebih baik, memainkan alat musik, menciptakan lagu, atau membuat gambar yang bagus, indah dan menarik.

Semoga Tuhan memberikan keajaibanNya untuk mimpi-mimpi yang tertunda itu. dan bagi kalian yang pintar bernyanyi, bermain musik, menggambar atau melukis. Jujur, saya sangat iri sekali dengan kalian. Karena itu adalah kemampuan level tinggi, perpaduan holistik antara bakat, latihan, dan kesempatan.

Blitar, 14 September 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak