women |
Sambil memperhatikan tiket dan nomor kursi yang tertempel di dekat jendela, aku berjalan pelan ditengah sesaknya kereta api Malabar yang akan membawaku dalam perjalanan panjang ke Bandung siang itu. Akhirnya kutemukan yang cocok ; 22B, dan disitu sudah ada seorang perempuan muda, cantik, putih, wangi dan fashionable. Dia duduk sambil memangku sebuah buku. Aku ucapkan salam dan duduk disebelahnya, sesekali kulirik buku yang ada dipangkuannya itu. Judulnya Ashmora Paria, tiba-tiba bulu tubuhku merinding.
Aku duduk disebelahnya, kursi didepan kami masih kosong. Otomatis hanya kami berdua. Dia masih aktif membaca buku, dan akupun sesekali mengamati ponsel untuk melihat informasi terbaru di facebook. Tak ada sapa diantara kami, sampai corong besar stasiun berbunyi dan kereta api Malabar jurusan Malang-Bandung berangkat. Dalam keadaan normal, aku pasti sudah membuka percakapan, tapi melihat buku yang ia pegang itu, tiba-tiba ada rasa canggung tersendiri. Karena sedikit banyak, aku tahu buku itu, dan isinya memang diluar mainstream.
Ia masih duduk syahdu dengan bukunya, bersandar disamping jendela kaca, sementara aku masih tertunduk mengamati layar ponsel sambil membaca media online. Masih tak ada sapa. Aku pun juga tak enak menggangu keseriusannya membaca.
Tiba-tiba, dalam keheningan yang lama. Ia membuka suara, “Mau kemana, Mas?” aku terkesiap. Dengan lekas kujawab,”Bandung, mbak mau kemana?” tanyaku balik. Ia tersenyum manis dan kemudian menjawab “Jogja. Mau ada pertemuan dengan teman-teman LSM.”
Jogja? Oh, berarti aku akan bersamanya dalam gerbong kereta selama kurang lebih delapan jam. Aku kira dia juga akan ke bandung, dan kami bisa lebih lama bersama. Ah, pikiran nakalku mulai muncul.
“LSM apa mbak?” tanyaku lagi yang sudah mulai jenuh dengan gadget dan ingin percakapan natural dengan seseorang. Dia –lagi-lagi dengan senyum manis—menjawab,”LSM Androgini kalau di Malang, kalau di Jogja adalah pertemuan LSM yang konsen ke masalah LGBT.” Aku terkesiap lagi. LGBT? Aku melihat dia membaca buku “Ashmora Paria” dan dia menjelaskan akan ada pertemuan dengan LSM yang konsen ke masalah LGBT. Apa dia ... Lesbi? Pikirku.
“Hmm.. seru tuh kayaknya, oh ya, suka baca novel juga ya?” tanyaku. Sementara pikiranku masih kemana-mana. Apakah perempuan cantik, putih, seksi dan wangi ini adalah seorang Lesbi sebagaimana tebakanku? Dan kalaupun iya, itu berarti aku tak akan pernah punya efek apapun ketika disampingnya. Oh my god.
“Yups.. kamu tahu novel ini?” lanjutnya sambil memperlihatkan sampulnya dan tentu aku tahu. Itu Novel yang ditulis Herlinatiens yang awalnya berjudul “Garis tepi seorang lesbian”. Lalu aku pun menceritakan sedikit hal yang aku ketahui tentang isi novel itu, dan dia pun terbelalak.
“OMG. Kamu tahu ternyata. Hebat. Oke,” jawabnya dengan mata berbinar dan sejurus kemudian dia bercerita banyak hal tentang LSM itu dan tentang LGBT dan sejurus kemudian, dia bercerita hal yang sangat pribadi, “Kamu tahu kan?” ucapnya, ”Kalau perempuan memang tercipta dengan labilitas yang tinggi,” lanjutnya. Gaya bicaranya lincah dan tertata. Semakin aku amati, sepertinya dia memang perempuan yang ceria dan friendly.
“Jadi kamu?” tanyaku yang takut menyentuh hal-hal spesifik.
“Yups. Pasti kamu bisa nebak. Keliatan dari sorot mata kamu kalau kamu anaknya pinter, jadi tak usah kujelaskan panjang lebar ye .. hihihihi,” jawabnya sambil nyengir.
Aneh juga. Ia sama sekali menganggap hal ini lelucon. Padahal, tidak semua orang punya reaksi yang sama kalau tahu dia seorang lesbian. Mungkin akan menghindar atau setidaknya, mengutuki sikapnya yang tak banyak orang paham itu.
“Lantas kenapa? Kenapa kamu bisa bilang kalau kamu Lesbi?” tanyaku.
“Hmm... itu pertanyaan yang sangat susah, jujur saja.”
“Aku tahu kalau Lesbian bukan hanya sebuah identitas seksual, tapi ia juga simbol terhadap kesewenang-wenangan. Apa kamu punya masa lalu buruk?” entah kenapa, tiba-tiba aku punya keberanian untuk bertanya ke hal-hal yang lebih jauh.
Dia beralih ke kursi kosong didepan kami dan sekarang kami saling berhadapan, “Btw, kamu bener. Seperti halnya kaum gay yang lebih berani menunjukkan identitasnya dibanding kaum Lesbi. Tapi memang, lelaki tak terlalu punya banyak alasan untuk memilih orientasi seksualnya, berbeda dengan perempuan yang kadang memiliki sejarah yang panjang,” jelasnya.
“Lalu, kalau kamu?” tanyaku lagi.
“Sebentar. Apa kamu tertarik denganku? Jujur. Setidaknya dari segi fisik.”
“Hmmm...,” aku berfikir sejenak, “Ndak juga,” lanjutku.
“Kenapa? Karena kamu tahu aku lesbi kan? atau karena kamu gay?”
Aku terperanjat, dan sejurus kemudian tersenyum getir. Aku kira dia bercanda.
“Mungkin itu salah satu alasan,” jawabku tak pasti.
“Kalau begitu kamu harus tahu, jika lesbian bukan hanya simbol orientasi seksual yang berbeda, tapi ia juga simbol kebebasan memilih dan tentunya sebuah simbol penderitaan masa lalu. Kamu pasti sudah tahu itu,” jelasnya yang menurutku berbelit-belit.
Kira-kira, apa dia tahu kalau aku mahasiswa disebuah kampus Islam?.
“Apa Tuhan menyalahkan seorang lesbian?” tanyanya.
“Jelas,” jawabku dengan singkat.
“Tapi jika itu sebuah kenormalan?”
“Kenormalan? Maksudmu? Bukankah lesbi adalah perilaku yang tak normal. Seperti halnya Gay atau homoseksual?”
“Tapi kenapa Tuhan menciptakan orang dengan orientasi seperti itu?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak. Berfikir untuk menjawab pertanyaannya. Ah, mana mungkin aku tahu? Itu kan hak Tuhan, mana mungkin aku tahu jawabannya. Oh ya, aku lupa kalau dia adalah aktifis LSM. Tentu dia sudah punya pengalaman banyak dilapangan dan itu tak mudah untuk mematahkan argumentasinya.
“Apa kamu tahu?” desaknya.
“Hmmm....” aku hanya menggelengkan kepala. Tapi apakah memang Tuhan menciptakan orang yang demikian? Tau ah, gelap.
“haha.. apakah kemudian kamu akan berfikir jika seorang yang memilih jalan berbeda adalah seorang yang brengsek, biadab dan tak mau ikut aturan Tuhan? Jika takdir mengharuskan kita memilih jalan ini, lalu kami bisa apa?”
“Takdir?” agak susah aku mengimbangi diskusi ini. Sementara kereta berhenti disebuah stasiun. Kulirik plang biru itu : Stasiun Wlingi. Perbincangan kami masih berlanjut.
“Jika kamu seorang yang normal dan penyuka perempuan, biasakah pada suatu ketika kamu dituntut untuk mencintai laki-laki?” tanyanya lagi.
“Ha? Yang benar saja,” responku.
“Begitu pula kami,” ia pun menundukkan kepala sambil menatap novel yang ia pegang. “Dan ini tentu bukan kemauan kami, kan?” lanjutnya.
Aku terdiam. Kereta pun mulai berjalan pelan. Suara bisingnya tak merubah keheningan sejenak diantara kami berdua. Pun dengan celoteh para penumpang lain siang itu. Kulirik jam tangan, masih tertuju ke angka 14.45. Tak terasa, sudah hampir dua jam kami berbincang berdua, dan penumpang lain di kursi depan kami juga belum datang.
“Apa menurutmu kami berdosa karena memilih jalan ini?”
“Hmmm...” aku bingung lagi. Takut tak mampu memberikan jawaban yang relevan. Takut juga menyinggung perasaan. “entahlah,” lanjutku.
“Takdir terlalu kuat untuk dilawan dan akhirnya, kamI pun harus menerima takdir ini dan mencoba memahaminya dalam kesendirian yang panjang, Mas,” jelasnya sambil mengalihkan pandangan ke arah luar. Dari balik jendela kaca itu, kami melihat hamparan sawah yang hijau dan anak-anak kecil yang berlarian di pematang. Kulihat matanya mengembun.
“Tapi ... apakah tak ada harapan lagi?” tanyaku.
“Entahlah. Biarlah waktu dan kedewasaan ini yang menjawab.”
Kami terdiam untuk beberapa waktu, sementara aku masih sangat penasaran dengan jawaban diawal tadi. Agaknya perempuan ini tak mau menjawab secara spesifik. Aku tahu, sebagai aktifis LSM, dia pasti lihai dalam sebuah percakapan. Ingin aku tanyakan lagi, tapi sepertinya kondisi tak memungkinkan.
“Oh ya, Larissa,” tiba-tiba ia menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman sambil menyebutkan namanya. Dengan lekas aku raih tangannya, dan kurasakan telapak tangan yang begitu lembut. “Fahri,” balasku. Lalu kami memulai perbincangan lagi. Kali ini tak lagi membahas masalah Lesbian. Kami saling bertukar informasi pribadi. Kuliah, aktifitas, tujuan dan sejenisnya.
Aku lirik jam tangan. Sudah masuk ke angka 15.40 dan sudah berhenti di tulung agung. Setidaknya, masih ada empat sampai lima jam tersisa untuk berbincang dengannya, itupun jika penumpang didepan kami tak juga hadir sampai Stasiun Jogja nanti.
“Oya, kamu tahu banyak soal LGBT ya?” dia mulai membuka topik lagi soal itu. dan aku hanya menjawab apa adanya. Aku memang pernah membaca literature tentang LGBT. Tapi tak betul-betul paham. Aku juga tahu sedikit istilah di dunia lesbian, tentang apa itu Butch dan Femme. Atau istilah di dunia gay, tentang top, bot dan vers. Tapi sekali lagi, aku tak begitu paham.
“Pantas saja, tapi itu adalah istilah yang negatif sebenarnya. Lebih ke arah hubungan seksual. Itu berarti kamu memandang banyak yang negatif ya?” responnya.
“Negatif. Bukankah memang seperti itu?”
“Kamu salah, Mas. Lesbian dan Gay juga sama seperti orang normal. Orang normal ada yang menjaga diri dari perzinaan, ada juga yang terjebak pada perzinaan. Begitu pula kaum lesbi. Ada juga lesbi yang menjaga dari perzinaan sejenis ada juga yang terlibat hubungan seks. dan istilah itu, adalah untuk hubungan seks,” jelasnya.
Aku terhenyak. Dia masih melanjutkan penjelasannya, “Jadi baik orang normal ataupun lesbi dan gay, kalau sudah berzina juga sama-sama dosa. kalau normalnya, laki-laki mencintai perempuan dan sebaliknya. Kalau lesbi perempuan mencintai perempuan dan gay itu laki-laki suka dengan laki-laki. Untuk itu, baik Lesbi atau gay sebenarnya juga normal dalam sudut pandang masing-masing.”
“Tapi, bukankah laki-laki memang tercipta dengan perempuan, lantas?” protesku.
“Itu kan kamu. Coba kalau kamu disuruh mencintai laki-laki, bisa kah?” ia mengajukan pertanyaan yang membuatku bingung. “Hal itu sama halnya ketika orang normal menyalahkan lesbian dan gay,” lanjutnya.
Aku tersudut. Tak mampu lagi menjawab, jika direnungkan memang benar juga. Normalitas bersifat relatif. Ah, pusing kepalaku. Tapi bukankah tetap saja itu tak serasi? Perempuan dan perempuan atau lelaki dengan lelaki?
Tak lama kemudian, kereta api berhenti di stasiun kediri. Kulirik jam sudah masuk angka 16.40, dan akhirnya dua orang pemilik kursi didepan kami datang. Larissa pun beralih lagi ke sampingku dan akhirnya, kami tak berani lagi melanjutkan percakapan karena ada dua orang yang belum tentu paham tentang topik diskusi itu. Akhirnya aku pun mengambil earphone dan mendengarkan lagu. Sore itu, sebuah lagu dari Backstreet boys “As Long as you love me” berdendang ditelingaku.
... Although loneliness has always been a friend of mine ... i’m leaving my life in ur hands ... people say i’m crazy and that i’m blind ... Riskin it all in a glance ...
Tak lama kemudian, mataku berat sekali dan aku pun samar-samar memejamkan mata. Tertidur. Agak lama terlelap, sebuah tangan menggoyang-goyangkan tubuhku. Aku pun terbangun seketika, kuamati suasana luar sudah mulai gelap. Kulirik jam tangan sudah ke angka 18.30, kereta berhenti di stasiun Madiun. Oh, sementara aku berada sangat dekat dengan Larissa. Oh, apa tadi aku tertidur disampingnya?
Sementara earphone masih tertancap ditelinga, kali ini yang berdendang adalah lagu Stupid in love by Rihanna : Don't understand it .. Blood on your hands... And still you insist ... On repeatedly trying ... To tell me lies ... And I just don't know why. Segera kucabut earphoe itu dan Larissa hanya tersenyum. Aku tak tahu apa yang terjadi. Dan aku pun tahu kalau kereta api tak memberikan waktu untuk break shalat magrib. Akhirnya kami melakukan shalat sambil duduk.
Kereta berjalan lagi, tak lama kemudian berhenti distasiun Paron, berlanjut ke stasiun Balapan kota Solo. Oh, sudah sampai Solo. Kulirik Larissa, ia masih sibuk membaca buku. Kali ini ia membaca novel Larung karya Ayu Utami. Kuamati gerak-geriknya membaca, dia memang sangat jelita, pintar pula.
Tak terasa, kereta sudah merapat ke stasiun Jogja. Ia pun bersiap-siap untuk turun. Kulirik jam, sudah hampit jam sembilan Malam.
“Aku duluan ya, senang bisa bertemu denganmu,” pamitnya.
“Hmm.. Larissa,” sapaku. Sebenarnya aku ingin meminta nomor hp. Tapi tiba-tiba nyaliku menciut, “Iya, ada apa?” responnya. Akhirnya aku tersenyum, “Terima kasih atas perbicangannya,” lanjutku. Ia pun membalas senyum.
Aku menggeser dudukku ke sebelah kiri, mengamati dari balik jendela kaca. Tapi agaknya, Larissa melewati jalan lain. dan kereta pun berangkat kembali. Kali ini, aku menggunakan earphone dan menikmati perjalanan malam melewati kota-kota jawa tengah, tak terasa aku tertidur lagi. Sampai kemudian terbangun dan kulihat sudah berada di Cipeundeuy.
Aku berjalan ke kamar mandi dan membasuh muka, lalu berdiri dibalik pintu gerbong yang tertutup. Ini sudah sangat malam sekali. Lagu-lagu masih bersenandung dalam earphone, sekilas kuingat-ingat lagi wajah Larissa dan segala keunikan yang menyertai perbincangan kami tadi. Apakah aku suka dengan Larissa? Ah, tak mungkin. Larissa tak mungkin suka denganku, bukan?
Kereta sudah merapat di stasiun Kiaracondong dan aku harus segera bersiap-siap turun. Kuambil tas yang tertata rapi diatas tempat duduk penumpang. Suara adzan subuh sudah terdengar. Tak lama kemudian kereta berhenti distasiun bandung, aku berjalan keluar dan terhenti di musholla untuk shalat subuh. Setelah itu berjalan keluar, dan memesan taksi bewarna kuning daun.
Oh my God. Ternyata taksi tak mau menggunakan argo. Tak apalah, sambil perjalanan menuju Cibiru, aku membayangkan lagi wajah Larissa. Ah sayang tak sempat meminta nomor hpnya. Dan perbincangan tentang Lesbian itu membuat aku paham, bahwa takdir tak mampu diterka pun susah untuk dilawan. Larissa, semoga suatu saat kita bertemu dengan keadaan yang lebih baik.
Bandung, 1o Juni 2014
A Fahrizal Aziz
Tags:
Cerpen