JIL itu biasa saja



Dalam satu sesi pembukaan sebuah acara diklat, seorang guru berpesan : anak-anak, hati-hati dengan JIL. Sebagai Jurnalis kalian harus bisa menyuarakan kebenaran Agama yang haq. Agama kita sedang dalam bahaya, ada sekelompok orang hendak membredel akidah. Saya pun terperanjat mendengarkan penjelasan sang guru tersebut. Kebetulan, saya duduk disampingnya, karena menjadi salah satu pengisi diklat.

Setelah pembukaan selesai, saya ijin ke panitia untuk ikut mengantarkan sang guru. Di luar aula, saya bertanya. Perihal membredel akidah. Akidah yang mana Pak? Tanya saya, Guru itu menjelaskan kalau JIL melarang sholat jamaah, membolehkan perayaan natal, membolehkan tidak menggunakan jilbab, dan lain-lain. Saya jadi tambah terkejut. Kalau soal Jilbab dan Natal, okelah. Tapi soal melarang shalat jamaah?

Nalar kepo saya terus berlanjut, mengorek persepsi sang guru. Sang guru mendapatkan sumber tersebut dari media online, sayangnya beliau lupa alamat websitenya. Media online? Cukupkah menjadi sumber?

Saya jadi ingat sebuah acara yang disana berkumpul banyak kader IMM. Saya sedikit bercerita soal buku yang ditulis Pradana Boy ZTF, perihal Muhammadiyah konservatif dan Progresif. Lalu dia langsung berujar demikian. Pradana Boy yang melarang Jilbab dan melarang shalat jamaah itu ya? Saya kemudian terperanjat. Apa benar Mas Boy melarang Jilbab dan shalat jamaah? Kemudian saya bertanya lagi sumbernya. Dia menjawab sederhana : orang liberal itu begitu. Pradana itu liberal kan?

Kemudian saya croscheck ke Mas Boy. Di rumahnya, istri Mas Boy saja berjilbab, bahkan setiap sore ngaji Alquran bersama beberapa murid. Bahkan Mas Boy punya forum kajian kitab kuning, dan masih rajin shalat jamaah. Jangan-jangan, informasi yang di dapat sang guru SMA dan kader yang saya temui diatas itu sama? Jadi sejenis gebyak uyah. Terminologi liberal atau JIL seolah menjadi sebuah peluru tunggal untuk ‘membunuh’ karakter seseorang. Kenapa bisa demikian?

Saya pun kemudian mempelajari JIL, membuka websitenya dan membaca buku-buku yang pernah ditulis eksponennya. JIL itu sebuah organisasi. Meskipun banyak melakukan dekonstruksi tafsir fiqiyah. Menurut saya biasa saja, apa yang aneh? Soal natal misalkan, masih cukup argumentatif pula. Di Mesir, bahkan selevel Yusuf Qodrawi, yang notabene ulama karismatik Ikhwanul Muslimin, menanggapi natal biasa-biasa saja.

Kenapa JIL atau Liberal sampai dikhawatirkan berlebihan? Saya jadi punya tiga pertanyaan. Pertama, kalau hanya soal tafsir fiqiyah, bukankah Fiqih itu sejak dulu punya banyak versi? Makanya ada ilmu ushul fiqh, ada banyak mahzab. Andaikan JIL datang membawa mahzab baru, apa yang aneh? Sejak dulu kita sudah dihadapkan pada perbedaan fiqiyah, dan banyak yang menganggapnya sebagai kewajaran.

Kedua, kalaupun JIL membawa “produk fiqih” baru atau “produk gagasan” baru, tentu cara melawannya adalah dengan kritik berupa “produk” yang bisa menjadi antitesis. Disanalah kemudian masyarakat akan menimang-nimang mana “produk” yang paling argumentatif dan memiliki dasar lebih kuat. Kalau sampai ada gerakan Indonesia tanpa JIL, ini memunculkan banyak pertanyaan. Kenapa harus tanpa JIL? kenapa harus anti JIL?

Kalau Alqur’an saja memberikan ruang terbuka untuk memilih agama, dan tidak ada paksaan di dalamnya. Kenapa harus ada paksaan untuk menerima produk fiqh atau gagasan tertentu, dan menolak produk fiqih atau gagasan yang lain? padahal keduanya masih dalam kerangka Islam. Dengan melabeli sesat dan kafir tersebut, justru sangat berbahaya bagi “kesehatan” berfikir orang-orang awam. Kata “Liberal” seolah menjadi kata pamungkas. Padahal, sering kali istilah itu salah ditujukan ke banyak orang dan akhirnya hanya menjadi fitnah. Salah satu contohnya ke Pradana Boy tersebut, yang bukan anggota JIL.

Ketiga, kalau memang gagasan dan argumentasi JIL itu lemah dan tak berdasar, dan gagasan serta argumentasi penentang JIL itu lebih kuat dan berdasar, kenapa harus sampai ada gerakan tanpa JIL, anti JIL, bahkan sampai sesat mengkafirkan? Harusnya bisa lebih santai, karena bisa dengan mudah membantahnya kan? atau jangan-jangan justru sebaliknya? Karena kalah argumentasi, akhirnya gebyak uyah dengan melabeli liberal, sesat, kafir. Kalau sudah sampai sesat dan kafir, mau berargumentasi seperti apapun pasti di tolak, apalagi orang-orang awam.

Jangankan orang awam, selevel guru yang saya temui diatas dan juga kader IMM yang notabene mahasiswa pun, bisa ikut-ikutan gebyak uyah. Tanpa klarifikasi, tanpa mempelajari lebih mendalam.

Saya tidak membela JIL, dan juga bukan anggota JIL. Tapi menurut saya, JIL itu biasa saja. Kalau kita pernah mempelajari sejarah, kontradiski pemikiran itu wajar terjadi. Baik secara personal, maupun institusional. Mulai dari Asyariah dengan Mu’tazilah hingga ‘konflik’ gagasan antara Ibnu Rusyd dan Imam Ghazali. Tetapi debatnya tidak sekedar sesat menyesatkan, kafir mengkafirkan. Melainkan melalui jalan ilmiah, dan argumentatif. Andaikan Ibnu Rusyd dan Al Ghazali hidup di zaman yang sama, apakah mungkin akan sampai berkata halal darahnya, sesat menyesatkan dan kafir mengafirkan?

Ada baiknya kita menengok kembali pesan Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari “Apabila seseorang menuduh Fasiq dan Kafir, maka tuduhannya itu bisa berbalik ke dirinya, bila tidak terbukti.” La Yarmi rojulun rojulan bil fusukhi wa la yarmi bil Kuffri.

Jadi, santai saja menanggapi JIL. Jangan takut teracuni, karena kita punya logika yang bisa menimang, menimbang dan menilai. Orang-orang awan pun juga harus mulai belajar menimang dan menimbang. Tidak selamanya menjadi ‘rebutan’ massa gagasan. Apalagi menutup lubang dialog dengan istilah liberal, sesat dan kafir. Ini bisa membuat masyarakat awam selamanya menjadi awam, buta isu, tertutup dan terorganisir.

29 Desember 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak