Ibu, aku sudah tak perawan lagi (4-tamat)



Mey tak kuasa menaham airmata, ia merasa jika tak ada satu orang pun yang peduli dengannya, tapi surat Pak Ibran ini berkata lain. Ternyata Pak Ibran juga begitu terpukul dengan kejadian ini, namun Mey juga tak pernah menyadari hal tersebut. Dia merasa tak memiliki siapapun dalam hidup ini, selepas kepergian Ibunya.

“Non Mey, ada tamu,” ucap Bi Inun.

Mey mencoba mengusap airmatanya.
“Siapa Bi?” tanyanya.

“teman-teman non Mey.”

Mey terkejut, kenapa ada temannya yang datang ke rumah? Lalu dengan berat Mey langkahkan kaki menuju ruang tamu, disana sudah ada Ryo, Simon, Moy dengan salah satu kurir utusan dari sekolah.

“Mey,” pekik Moi, lalu Moi berjalan ke arah Mey dan memeluknya.

Ryo dan Simon hanya tertunduk, dan utusan sekolah tersebut menyodorkan sebuah amplop coklat berstempel sekolah. Mey sudah tahu surat apa itu, tanpa dia membukanya. Lalu, utusan dari sekolah itu pamit undur diri. Dan Moi masih menangis sambil memeluk Mey.

“Mey, kami kesini atas permintaan Pak Ibran,” ucap Ryo.

“Iya, Mey. Maukah kamu pergi ke suatu tempat?” Sambung Simon.

“Mana Pak Ibran?” tanya Mey.

Lalu Moi, dengan airmata meleleh melepaskan pelukannya, mengusap airmatanya dan mencoba menjelaskan.

“Sekarang Pak Ibran sudah tidak lagi menjadi guru disekolah kita, Mey,” jelas Moi.

“Ha? Kenapa?” Mey agak terkejut.

“Sudahlah, ceritanya panjang, sekarang maukah kamu ikut dengan kami ke suatu tempat?” sahut Ryo.

“Ayo,” Moi menarik tangan Mey menuju suatu tempat yang tak jauh dari rumahnya. “Kemarin kamu sudah janji dengan Pak Ibran kan?” lanjut Moi.

Mey terdiam, dia tahu betul jika kini ia berada dimana. ini adalah pemakaman, tempat dimana Ibunya dimakamkan dan dia melihat sesorang tengah duduk didepan makam Ibunya sambil mengucapkan doa-doa.

Ryo, Simon, dan Moi terdiam, mereka berdiri dibelakang Mey yang tertegus melihat seseorang tengah duduk khusyuk didepan makam Ibunya.

“Pak Ibran,” pekiknya.

Pak Ibran membalikkan tubuhnya dan melihat Mey, ia menyuruh Mey untuk mendekat. Dengan langkah hati-hati, Mey berjalan ke arah Pak Ibran, dan kini mereka berdua saling berhadapan. Pak Ibran mengalihkan pandangan ke arah batu nisan yang bertulisakan nama Ibunya, Mey pun mengikutinya.

“Mey, hidup memang tak sesederhana soal ujian di sekolah, yang hanya bisa kita pilih mana yang benar. Namun dalam hidup kita memang harus menentukan pilihan dan menciptakan sesuatu, entah itu baik atau buruk. Aku yakin kamu paham itu, Mey.”

Mey hanya menganggukkan kepala.

“Seperti janji bapak kepada almarhum Ibumu yang sampai saat ini masih belum bisa bapak laksanakan,” lanjut Pak Ibran.

Mey tertunduk, ia juga memiliki janji suci kepada Ibunya, sebuah janji yang benar-benar telah ia hianati. Tak terasa airmata Mey pun tertumpah.

“Mey, setelah pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkanmu dari sekolah, saat itu pula bapak memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai guru di sekolah itu.”

Mey terkejut, dengan lekas ia mengusap airmatanya dan mengalihkan pandangan ke arah Pak Ibran.

“Kenapa bapak lakukan ini?”

“Bapak telah gagal mendidik, lagipula sebagai guru, bapak bertanggung jawab penuh dengan apa yang terjadi padamu. Bapak sudah berulangkali mengajukan usul agar kamu tidak dikeluarkan, karena bagi bapak, kamu masih punya cukup banyak waktu untuk membenahi ini semua.”

“Bapak,” airmata Mey tertumpah, tak sanggup ia menahannya. “Kenapa bapak peduli seperti ini dengan saya, Ayah saya saja tidak pernah bersikap sejauh ini. Bapak, ini bukan salah bapak, ini salah Mey yang telah mengkhianati pesan Ibu dan juga bapak. Saya memang bukan murid yang baik Pak,” lanjut Mey.

Moi mendekat dan memegang pundak Mey.

“Mey, kamu tidak sendirian kok, ada kita disini, dan juga Pak Ibran yang selalu khawatir denganmu. Mey, kamu tidak harus lagi merasa kesepian,” ucap Ryo.

Mey memegang erat tangan Moi yang tengah berada dipundaknya, lalu mereka pun berpelukan, kali ini mey benar-benar tak kuasan menaham haru.

“Maafkan aku, aku memang tidak pernah bersyukur karena memiliki kalian,” ucap Mey sambil menangis sesenggukan.

Lalu mey menghadapkan wajahnya ke arah makam Ibunya, ia ingin bicara sesuatu, tapi ia sadar itu hanyalah makam, sebatas simbol keberadaan Ibunya. Tapi ia ingin katakan satu hal, tentang dirinya, dan ia begitu berat mengucapkan ini.

“Ibu,” pekiknya, airmatanya tak tertahankan,”Maafkan Mey, karena telah menjadi anak yang tidak sesuai harapanmu. Ibu, Mey ......” ia tak mampu melanjutkan, dan semakin tenggelam oleh kesedihan itu. Moi mencoba menenangkan dengan memegang pundaknya.

“Tapi Ibu, Mey akan menebus kesalahan Mey ini. Mey berjanji akan memulainya dari awal, Mey...” lagi-lagi ia tak mampu meneruskan kata-katanya karena luapan tangis yang tak terhenti.

“Mey, bapak tahu jika ini berat untukmu. Tapi hidup ini memang ibarat sebuah buku, mungkin ada salah satu halaman yang tertulis kata-kata yang indah, namun ada juga halaman yang tertuliskan kata-kata yang menyakitkan. Namun, selama masih hidup kita masih punya lembaran-lembaran kosong untuk kita isi dengan kata-kata yang indah. Mey, bangkitlah,” pinta Pak Ibran.

Mey tertawa getir, tawa yang berbaur dengan keharuan, ia menyadari apa yang telah dilakukannya selama ini, sebuah kebodohan yang tak pernah ia pikirkan.

“Aku memang bodoh, karena kesunyian itu, aku harus mencari penawar yang sangat jauh dari kehidupanku, padahal aku punya banyak alasan untuk tidak menyerah pada kesunyian itu, salah satunya dengan kehadiran kalian,” pekik Mey.

Sambil memegang erat batu nisan, Mey tak kuasa manahan kepedihan. Hari itu, dia telah belajar banyak hal, termasuk tentang arti sebuah keselahan.

T A M A T

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak