Ibu, aku sudah tak perawan lagi (3)



Terlihat kursi kosong yang biasa ia duduki ketika Ibuya tengah dirawat intensif. Sebuah kursi yang ia hafal betul, mulai dari warna dan bentuknya.

Mulutnya terus bermunajat, memohon agar Tuhan tak lekas mengambil orang yang paling dicintainya tersebut. Ia curahkan segalanya, sampai-sampai ia berjanji, andaikan harus sebagian dari nyawanya diambil untuk agar Ibunya tetap berada disampingnya, ia rela.

Disaat penantian yang mencemaskan itu, datang seorang laki-laki berjas hitam bersama dua orang ajudannya, dia melihat Mey terdiam disandaran tembok sambil meratapi kepedihan.

“Mey, bagaimana keadaan Mama?” tanya orang itu.

Lelaki itu mencoba memeluk Mey, namun langsung ia tepis. Dan tak lama kemudian dokter keluar beserta beberapa suster. Mey langsung memegang erat tangan salah seorang suster tersebut.

“Bagaimana? Dimana Mama saya?” tanya Mey.

Dokter menampakkan raut yang buram, terlihat gurat keprihatinan terpancar di wajahnya. Lalu, dokter itu menepuk pundak lelaki yang mengenakan jas hitam tersebut.

“Maafkan kami Pak, kami sudah berusaha semaksimal mungkin,” ucapnya.

Mey terkesiap, lalu dengan segera berlari dan menghampiri perempuan yang sangat ia cintai tersebut. Sudah terlihat kain putih menutupi seluruh tubuhnya, ia buka bagian atasnya.

“Mama, Mama....” teriak Mey dengan tangis meledak, ia peluk tubuh yang telah menjadi jasad tersebut. Sementara lelaki berjas hitam itu masuk dan melihat keadaan yang terjadi. Ia tak mampu berujar sesuatu, mulutnya sudah terkunci dengan kenyataan yang ia lihat.

Pasca kejadian itu, Mey merasa limbung, hidupnya merasa tak lagi utuh. Karena selama ini hanya Ibunya yang menemani hari-harinya di rumah, menemani kala dia lelah, menemani kala dia gundah, menemani kala hatinya benar-benar sepi. Dan setelah kepergian Ibunya, bisa dibayangkan bagaimana sunyi hidupnya.
***
Mey masih mngunci diri di kamar, sejak pagi tak sepotong roti pun masuk ke perutnya, ia mulai rapuh, dengan sekuat tenaga ia berdiri, ia tak tahu lagi apa yang harus diperbuat. Ayahnya sudah begitu murka, dan firasatnya mengatakan jika sekolah akan mengeluarkannya.

Ia melihat handponenya berkali-kali berdering, ada sebuah panggilan masuk, dan itu dari Pak Ibran, wali kelasnya. Firasat Mey, pasti Pak Ibran ingin mengabarkan jika dirinya di D.O dari sekolah dan lekas mengambil segala berkas-berkas yang ada jika ingin pindah, sekolah Mey merupakan sekolah dengan rate yang tinggi. Andaikan harus pindah, pasti banyak sekolah dibawahnya yang akan menerima.

“Ada apa, Pak?” Mey akhirnya mengangkat telepon tersebut.

“Syukurlah kamu angkat, Mey apa kamu bak-baik saja? Keluarlah dari kamar Mey, jangan terus menunci seperti itu, Papa kamu khawatir,” jelas Pak Ibran.

“Kalau yang khawatir Papa, kenapa Bapak yang menelepon saya?” tanyanya.

“Ini bapak masih berada di rumah kamu, Mey. Ayo keluarlah.”

“Untuk apa bapak masih peduli dengan Mey? Papa saja sudah tidak lagi menganggap Mey ada. Harusnya Pak Ibran tidak perlu serepot ini.”

“Mey, ini permintaan bapak, ayo keluarlah Mey, bapak mohon, atas nama wali kelas, keluarlah sekarang.”

Mey tak tega. Dengan langkah yang terhuyung Mey berjalan ke arah pintu kamarnya, dengan lekas ia membuka pintu, dan terlihat Pak Ibran dengan Bi Inun, pembantunya itu, tengah duduk di kursi keluarga.

“Mey,” pekik Pak Ibran. Lalu lelaki paruh paya itu berjalan ke arahnya dan Bi Inun mengikuti dari belakang,” Bapak khawatir denganmu,” lanjutnya.

“Khawatir?”

“Non Mey, makanlah dulu, sejak pagi non Mey belum makan,” sambung Bi Inun.

“Dimana Papa?” tanya Mey.

“Papa masih di kantor, ada urusan,” jelas Bi Inun.

“Mey, sekarang makanlah dulu, bapak ingin bertanya beberapa hal padamu tentang video itu,” Pak Ibran mengutarakan keinginannya.

Akhirnya dengan kata-kata lembut dari Pak Ibran, Mey menurut, lalu mereka terlibat diskusi panjang tentang asal usul video itu dan alasan Mey bergabung dalam kelompok diskotik tersebut. Karena esok pagi, Pak Ibran beserta guru harus melanjutkan rapat penentuan apakah Mey akan di D.O atau tidak.

“Jadi begitu,” pekik Pak Ibran setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dari Mey.

“Iya Pak, maafkan Mey, karena Mey telah menjadi siswa yang buruk dan menyusahkan Pak Ibran sebagai wali kelas. Mey siap jika harus di D.O.”

“Bolehkan Bapak minta satu hal pada Mey?”

“Apa itu Pak?”

“Besok Bapak ingin Mey mengantarkan ke makam Ibu Mey.”

“Untuk apa, Pak?” mey terlihat bingung.

“Sudahlah, maaf, Bapak harus segera pulang, ini sudah terlalu malam,” Pak Ibran undur diri dan dengan cepat pergi dari hadapan Mey. Sementara Mey masih terdiam, dia pikir Pak Ibran akan murka seperti Ayahnya, tapi ekspresinya lain. bahkan Pak Ibran meminta untuk diantarkan ke makam Ibunya, Mey merasa aneh. Tapi ia harus turuti kemauan Pak Ibran..

Setelah video itu beredar luas di Internet, Ayah Mey belum pulang ke rumah dan lebih sering menghabiskan waktunya di luar, Ayah Mey sudah benar-benar tenggelam dengan tugasnya sebaga pejabat negara dan juga sudah begitu terluka oleh kejadian memalukan itu. reputasinya sebagai pejabat publik agak turun. Baginya Mey sudah bukan lagi anak yang dia harapkan, Mey sudah menjadi benalu.

Dan pagi itu, Mey duduk di ruang tengah, membuka-buka album kenangan, melihat foto-foto waktu dia masih bersama Ibunya. Tak terasa airmatanya menepi, Mey tak menyangka jika akan tenggelam dalam samudra penyesalan seperti ini. Dia tak tahu lagi harus berbuat apa, sepertinya dunia sudah tak lagi memihaknya, termasuk Ayahnya sendiri. Hidupnya sudah benar-benar hancur.

“Non, tadi malam Pak Ibran menitipkan ini,” ucap Bi Inun sambil menyodorkan sebuah amplop putih.

Perlahan ia membuka amplop tersebut, sebuah kertas putih bertuliskan kata-kata, Mey penasaran dengan kertas tersebut, lalu dengan segera ia membacanya.

Dari, Pak Ibran.
Mey, maafkan bapak karena telah terlambat memberitahukan ini kepadamu, Sebenarnya ini adalah pesan terakhir sebelum kepergian Ibumu dulu, karena keterbatasan bapak akhirnya bapak lupa menyampaikannya. Mey, dulu ketika bapak menjenguk Ibumu di rumah sakit, beliau berpesan banyak hal pada bapak, Ibumu juga bercerita jika kamu tidak begitu dekat dengan Ayahmu, Ibumu juga bercerita jika terlalu banyak tuntutan yang harus kamu penuhi ; menjadi anak yang berprestasi, ikut les sana-sini, dan sebagainya agar reputasi Ayahmu sebagai pejabat negara semakin baik.

Mey, sebagai wali kelas saharusnya bapak memahami hal itu, tapi apa daya, maafkanlah bapak. Bapak tahu jika selama ini kamu terkekang, selepas kepergian
Ibumu, kamu telah kehilangan teman sekaligus orang yang mampu kau jadikan

sandaran ketika lelah menerpamu. Mey, Ibumu juga bercerita jika kau adalah anak yang pemalu, tertutup dan penurut, dan sekalipun nilai akademikmu bagus, tapi kamu masih terpaku pada Ibumu.

“Saya takut, jika nanti saya meninggal, Mey kehilangan arah hidupnya,” pesan Ibumu dulu.

Bapak tahu jika maksud Ibumu itu adalah agar Bapak, selaku walikelasmu memperhatikan kamu agar terus berada pada jalan yang selama ini kau tempuh.

“Tolong lah Mey, Pak. Karena saya berfikir, hidup saya tidak lama lagi, saya takut jika Mey mudah terpengaruh dunia luar, dia begitu polos Pak, dia tidak tahu dunia luar yang kadang begitu mengerikan. Meski nilai-nilai akademiknya bagus, tapi Mey masih belum punya pemahaman yang luas tentang kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang bisa merubah cara pandang dan sikapnya dengan sangat cepat.”

Dan kejadian ini, membuat bapak sadar jika selama ini bapak telah membiarkanmu berjalan dalam kesepian, hingga kamu berjumpa dengan orang yang tak tepat dan telah menjerumuskanmu . sebagai guru bapak merasa terpukul, merasa bersalah, karena bapak tak mampu memahami murid bapak sendiri. Bapak tahu jika Mey sebenarnya adalah anak yang baik, Mey melakukan hal itu karena Mey merasa kesepian dalam hidup ini. Mey, maafkan bapak.

Bapak telah gagal memahami keadaan kamu, sebagai Pendidik, bapak telah gagal mendidik kamu. Karena Pendidikan tidak bisa diukur hanya sebatas angka-angka Mey. Bapak terlalu menganggap kamu telah mampu segalanya, karena nilaimu tertinggi di kelas, maka semua akan berfikir jika tak ada masalah serius dalam hidupmu. Mey, bapak tahu akan datang kabar menyakitkan dari sekolah, kabar yang menjelaskan jika kamu kan di D.O.

Bapak telah berusaha semaksimal mungkin agar Mey tetap bisa melanjutkan sekolah disana dan memperbaiki yang ada. Tapi mungkin semua itu akan menjadi lain. mey, sekali lagi maafkan bapak. Bapak telah gagal mendidikmu.

Salam, Pak Ibran.

--Bersambung

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak