Kita sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh Erving Goffman dalam the presentation of everyday life.Bahwa kehidupan ini penuh dengan simbol-simbol yang merepresentasikan banyak hal ; harapan, kabar gembira dan utopia. Seseorang bisa terlihat garang, sangat ramah, dan merakyat dalam kondisi tertentu. Ia akan mewujudkan sebuah dunia dimana kesejatian hidup hanya sebuah dongeng yang usang.
Dramaturgi, dalam perspektif Goffman adalah sebuah simbol etnometodologis yang bisa memberikan julukan tertentu pada sebagian orang. Terutama bagi mereka (yang) mempertuhankan kepentingan. Sebuah jabatan pragmatis yang akan segera mencerabut jati diri itu. Tentu kita patut bersedih, karena senyum yang biasanya sangat natural, kini bisa menjadi sangat manipulatif.
Jika kita membaca lebih dalam, bahasa simbol sudah sangat mengkhawatirkan. Demi sebuah modernisasi, gedung-gedung tinggi ditegakkan, perumahan kampung digusur, kaum miskin dipolarisasi ke pinggiran sungai, dan minimarket-minimarket –dengan nama yang sama—kokoh dimana-dimana. Hanya demi sebuah simbol bernama “modernisasi”.
Dalam bahasa politik, istilah “wong cilik” pun juga menjadi simbol pemihakan. Disatu sisi, penyebutan wong cilik adalah penghinaan komunal, karena besar tidaknya seseorang dinilai sebatas pendapatan per kapita. Sementara konjugsi moral antara “wong cilik” dan “wong sugih” sangat kentara. Sampai kapanpun, istilah “wong cilik” sangat tendensius. Ia akan terus dibawa-bawa dalam retorika kampanye yang utopistik. Karena suara “wong cilik” dalam pemilu sangat besar dan (bisa) dibeli.
Belum lagi simbol “macan asia” dan “merakyat”. Dua hal yang sangat lucu dan menggelikan. Yang satu berisi kritik terhadap regresifitas, yang satu berisi sebuah keniscayaan. Macan asia disimbolkan dengan kata-kata, dan merakyat disimbolkan denga kesederhanaan dan kepedulian. Saya tidak tahu mana yang tulus dari hati, tapi tetap saja, dua hal itu adalah “bahasa politik.”
Dan apalagi, jika simbol yang dibawa adalah agama. Sejak kapan Tuhan bisa di privatisasi? Akhirnya tak sedikit dari kita yang terprovokasi simbol-simbol tersebut. Dan politik, pada akhirnya adalah sebuah komoditi yang menggiurkan dengan beragam bahasa dan simbol. Agama nomor berapa? Entahlah. Tapi sejak dulu, Tuhan memang tak pernah netral, ia tetap memihak ada satu hal : kebajikan. Itulah yang saya yakini selama bertahun-tahun, bahkan hingga saat ini.
Jika kemiskinan, kelaparan, dan kepedihan hidup menjadi bahasa politik, alangkah sedihnya kita. Atas nama pemihakan dan atas nama kekuasaan. Pemihakan itu barangkali akan hilang setelah musim pemilu reda, tapi kekuasaan akan bertahan selama (minimal) lima tahun. Kita sudah lelah, dan kini sangat letih sekali.
Pasar tradisional kian hari kian sepi. Atas nama gengsi dan efisiensi, siapa yang peduli nasib pedagang ini? kota-kota semakin megah dan menyala-nyala, sementara kita “sang tuan tanah” hanya menjadi pekerja yang terlunta-lunta oleh aturan, gaji, dan masa depan yang simpang siur. Tak banyak lagi yang berminat mengurus tanah pertanian, dan kini –tanah subur penyambung nyawa itu—telah ditumbuk dengan beton dan berdiri perumahan mewah dengan sistem kredit. Oh ..
Macan asia atau rakyat jelata? Dua hal yang tak ubahnya seperti suara sendawa. Mereka berbicara dalam keadaan kenyang, ditengah gedung yang penuh AC dan wewangian. Mereka berbicara ditengah euforia kekuasaan. Tak ada yang lapar diantara mereka. Kita disini hanya menerka, membaca dan mengkhawatirkan hari esok. Adakah sesuap nasi yang bisa dinikmati?
Namun ternyata, banyak yang kenyang oleh kata-kata. Entah itu hanya sebuah utopia atau sejumput asa. Dramaturgi telah menidurkan kewarasan sebagian dan menggilakan sebagaian pula, entah dalam waktu berapa lama. Yang jelas, kita yang sadar harus segera membangungkan, sebelum dongeng tentang kesejatian itu akan semakin menjadi-jadi.
Politik itu mahal, dan tidak ada satupun yang mau rugi.
Samara, 21 Juni 2014
A Fahrizal Aziz
Catatan Sunyi
Tags:
Tepian