Bukan Dolly



Saya ingin memutar ingatan lagi, setidaknya tiga tahun silam, ketika saya dan seorang teman “tersesat” disebuah komplek itu. Kami duduk di warung kopi dengan disinari lampu 5 watt, remang dan agak padat perbincangan. Saya memesan segelas kopi hitam. Sambil menyeduh, saya mengamati lalu lalang keramaian. Bukan keramaian kendaraan, melainkan etalase-etalase kayu dan kaca transparan yang didalamnya berdesal-desalan entah apa itu –saya tak paham—yang jelas, keramaian malam itu mirip pasar malam disebuah gang kecil.

Beberapa lelaki berjaket hitam menawari seputung rokok, dengan lembut saya menolak. Tentu, bagi saya yang tak terbiasa dengan remang-remang dan asap rokok bercampur aroma kopi hitam yang rendah gula, alias pahit. Sesekali mata saya menguntit dari balik pagar beton, apa yang tengah terjadi di rumah tua berjendela kayu itu? entahlah.

Tak lama kemudian, dua orang perempuan dengan rok mini, baju singlet merah, dengan dandanan menor, rambut tergerai lurus kebawah, berjalan pelan dengan higheel-nya. Ia berjalan ke arah kami, dan memesan sesuatu dengan sebuah kode tertentu yang saya tak paham. Penjual memberikan bungkusan yang entah apa isinya. Saya hanya mengamati saja, dalam diam, dan dalam ketidaktahuan.

Suasana semakin malam, tapi hawa panas semakin menjadi-jadi. Sambil menyikut pelan teman disamping, saya berbisik lirih agar segera menghabiskan kopinya dan kita bisa pergi dari sini. Ini tempat apa? Pikir saya yang tak tahu menahu. Sementara ia masih seru berbincang dengan dua lelaki didepannya. Saya pun mengalah.

Sambil membuang bosan, saya berjalan-jalan ke sekitar. Ada beberapa wisma, mirip penginapan, tak sengaja saya melihat seorang perempuan sedang duduk sambil berbincang melalui telepon. Dandanannya masih sama seperti dua perempuan pertama tadi. Mulutnya berulang kali mengeluarkan asap rokok dari putung rokok yang ia hisap itu. Saya berjalan melewatinya.

Ini tempat apa? Pikir saya berulang kali, sambil sesekali mengamati plang-plang yang sudah mulai luntur tulisannya itu. Plang itu bertulisakan : wisma melati, wisma anggrek, wisma mawar. Oh, nama bunga-bunga. Mungkini ini mirip dengan villa-villa di Kota Batu. Beberapa dari wisma itu catnya juga sudah mulai kusam, bahkan ada yang mengelupas. Mirip rumah tua.

Teman saya pernah berbisik lirih. Ini adalah tempat dimana banyak perempuan yang bahagia tanpa harus memilih. Mereka bisa membeli barang-barang mahal di fashion shop, atau duduk jingkrak di bar cafe. Syaratnya sangat sederhana ; berfikirlah bahwa engkau hanyalah seonggok tubuh yang dicipta untuk dinikmati. Bukan yang lain.

Mereka –yang disini—memahami jikalau logika paling realistis dalam hidup ini adalah mencari uang, hidup layak dan perut kenyang. Soal-soal yang lain, bisa dikompromikan, termasuk kompromi dengan Tuhan. Saya sesungguhnya tak banyak paham. Saya hanya tahu bahwa tempat ini ramai, warung itu hanya menggunakan pencahaan 5 waat, dan perempuan dengan fashion yang sangat terbuka dan ... menggoda.

Saya pernah berbincang tanpa sengaja dengan mereka, dan sepertinya mereka tengah menjemput takdirnya. Jika ada hitam maka ada putih, ada kanan ada kiri, ada baik ada jahat, ada pahala ada dosa... dan mereka, dengan retorika sederhana, melengkapi pola itu.

Jika tak ada keburukan, bagaimana manusia bisa membedakan yang baik dan yang buruk? Protesnya. Jika Tuhan tak menciptakan kemungkaran, lalu apa tugas para juru dakwah? Jika kami tak ada, darimana orang akan mengatakan jika prostitusi itu sesuatu yang keji dan tak bermoral? Ungkap mereka.

Saya hanya menelan ludah. Sambil sesekali merogoh kocek dan menghitungnya dengan teliti. Ah, andai saya punya uang berlebih? Pikiran saya kemana-mana. Andai saya bergaji diatas 10 juta per bulan, atau ketika saya punya puluhan proyek dengan royalti yang fantastis, mungkin saja ... saya tak tahu pasti.

Saya juga mendapat cerita, bahwa salah satu diantara mereka, harus pergi diam-diam dari rumah ketika anaknya sudah tertidur pulas, dan ia akan kembali menjelang fajar ketika anaknya belum bangun. Ia baru bisa merebahkan tubuh ketika anaknya sekolah. Mendengarkan hal itu, tentu getir sekali rasanya. Pahit betul kenyataan ini.

Saya jadi teringat novel saya yang terhenti ditengah jalan ; “Ijinkan aku menodaimu”, sebuah imaji yang kini benar-benar nyata, Tuhan. Malam ini aku terdiam dalam keheningan, bermunajat dalam ketidakpahaman itu. Ini adalah sebuah sketsa, dan kitalah yang akan menggenapinya.

Malam ini, disebuah tempat yang (bukan) bernama Dolly.

Samara, 18 Juni 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak