Ritus Kesunyian (8)



#2
Luka yang terpendam

Jam 3 sore, langit kota Malang terlihat mendung. Mobil Pajero sport perak itu memasuki halaman rumah yang megah dengan arsitektur Eropa. Rumah yang penuh dengan filosofi kehidupan. Bercat hijau dan taman-taman yang mengelilinginya, ibarat istana tumbuhan, terlebih bangunan megah itu bewarna hujau muda. Sebuah tempat yang begitu sejuk.
Mamang menghentikan mobilnya, lalu keluarlah Egar dengan wajah datarnya. Ia segera berjalan menuju kamar, menaruh tas di meja belajar, mengganti baju seragam, dan segera menuju tempat makan, disana sudah tersedia berbagai hidangan bergizi, mulai dari sayur mayur hingga beberapa makanan yang mengandung protein. Egar adalah tipikal anak yang begitu selektif memilih makanan.
“Kenapa tidak ada jus jambu?” protes Egar pada Bi Sarbi, juru masak sekaligus pembantu rumahnya.
“Oh iya Den, maaf Bibi lupa, maaf Aden,” ucap Bi Sarbi dengan nada bersalah.
Tapi Egar tak berkomentar, ia segera melahap makanan yang sekiranya sesuai dengan kandungan gizi yang dibutuhkannya hari ini. Ia tak mau mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat, karena itu hanya akan membuatnya payah dan cepat lelah.
Dengan rapi ia menghabiskan makananya, setelah itu ia kembali ke kamar untuk tidur siang, dan akan bangun menjelang magrib, itulah rutinitas yang selama ini ia jalani. Hidup Egar memang sudah di setting sedemikian rupa.
Sebelum tidur siang, dia mengambil buku-buku yang ada di dalam tas dan menatanya rapi di rak meja belajar, segala yang dilakukannya harus tertata rapi. Saat menata bukunya, sebuah buku kecil terjatuh, buku kecil itu adalah buku krayon. Dia mengambil buku itu, ekspresinya datar, lalu ia memasukkan buku itu ke dalam tasnya.
Ia merebahkan tubuhnya diatas ranjang, tapi tak hendak matanya terpejam. Karena aktivitasnya hari ini hanya duduk di kelas mendengarkan ceramah Guru, hal yang paling menguras energi baginya hari ini adalah berdebat dengan Pak Daus dan Bu Kepala sekolah. Tapi ia tak menyerah, ia telah menyusun berbagai cara agar mampu membalikkan keadaan jika suatu saat Bu kepala sekolah mengajaknya berdebat lagi. Selama ini, ia tidak pernah kalah dalam berargument.
Hampir setengah jam, namun mata Egar tak juga terpejam, Akhirnya ia bengkit dari tidurnya, Ia tertarik untuk melihat buku krayon itu. Diambillah buku kecil itu dan membukanya, terlihat gambar-gambar lucu. Sebenarnya itu adalah gambar yang ia buat, sekitar tiga tahun lalu. Ia belajar menggambar dari Kakaknya sendiri, tapi setelah kematian Kakaknya, ia tak lagi tertarik untuk menggambar, atau melanjutkan cerita dalam gambar tersebut. Buku krayon itu memuat gambar cerita berseri.
Terus-terusan menatap gambar-gambar dalam buku krayon itu, membuat mata Egar berkaca-kaca. Dia teringat Kakaknya, tapi dengan segera ia menutup buku itu dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Ia harus konsisten dengan apa yang telah ia pilih ; ia tidak akan tertarik lagi untuk menggambar, atau melanjutkan gambar dalam buku krayon itu. Baginya itu adalah masa lalu yang tak harus diungkit-ungkit.
Tapi sekuat apapun ia mencoba menepis bayangan masa lalu itu, tetap saja wujud kakaknya selalu menyelinap, ia teringat sebuah percakapan.
“Dek, ternyata kamu bisa menggambar, kamu memang anak yang cerdas, baru beberapa hari belajar bisa menyaingi kakak,” ucap kakaknya.
“Oh iya?” Egar tersenyum takjub, matanya cerah berbinar, membandingkan dua gambar yang ia buat dengan gambar yang dibuat kakaknya. Hampir sama.
Dan diapun segera menyeka airmatanya, merebahkan kembali tubuhnya diatas ranjang. Tapi, dalam benak terus terlintas sosok Kakaknya, sepertinya buku krayon kecil itu telah memberikan efek yang cukup buruk padanya siang ini; dia jadi teringat kembali masa lalu yang tak akan mungkin terulang lagi.
“Sial,” pekiknya.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak