Sementara Pak Daus merasa terkejut dengan sikap Egar, ini untuk pertama kalinya dia bertemu anak itu, meskipun dia sudah beberapa kali mendengar cerita dari Mamang tentang sikap Egar. Tapi kali ini, menurutnya anak itu memang begitu dingin.
“Iya, Egar silahkan duduk Nak,” jawab Pak Daus.
Pak Daus membuka lagi catatan kecilnya, ia memang sengaja menulis sesuatu di buku kecil yang selalu ia bawa di saku celana. Terkadang ia menuliskan karakter siswanya atau sesuatu hal yang harus terus ia ingat, kali ini Egar masuk dalam catatan kecilnya.
“Baiklah para pejuang, hari ini kita telah memasuki semester kedua. Dan disemester ini, mari kita berjuang untuk semakin .....”
“Maaf Pak,” Egar memotong kata-kata Pak Daus.
“Iya, ada apa Nak Egar?” tanya Pak Daus, seluruh mata tertuju pada Egar.
“Apa maksud Bapak dengan menyebut kami pejuang, bukankah itu sangat konyol? Kami disini adalah untuk belajar, bukan berperang,” lanjut Egar.
“Oke, Bapak akan jelaskan,” jawab Pak Daus sambil membuka slide pertamanya.
“Para pejuang melakukan upaya yang kuat untuk menegakkan kemerdekaan, karena kemerdekaan adalah harga diri dan martabat bangsa. Disini kita belajar bukan hanya sekedar mencari nilai, melainkan kita berjuang untuk membangun harga diri kita, dan ketika harga diri kita terbangun maka harga diri dan martabat bangsa juga akan terbangun,” jelas Pak Daus.
Egar membuka tabletnya, lalu memandang ke arah Pak Daus.
“Anda salah Pak, kemerdekaan bukanlah untuk menjunjung martabat bangsa. Tapi adalah upaya untuk menghindarkan diri dari penjajahan, karena penjajahan membawa penderitaan. Jadi, mereka melakukan perjuangan agar terhindar dari penderitaan dan bisa menikmati kehidupan tanpa kolonialisme. Tahun 1945 Masyarakat Indonesia belum memahami secara utuh konsep kenegaraan, bagaimana mungkin mereka berfikir tentang martabat bangsa?”
“Jadi menurut Nak Egar?” Pak Daus melempar pertanyaan.
“Menyebut kami pejuang sama saja memposisikan diri kami sebagai orang yang terjajah dan teraniaya, dan harus berjuang untuk keluar dari penderitaan. Itu sama saja menyebut kami sebagai orang yang tertindas. Bukankah itu filosofi pembelajaran sejarah yang sangat konyol?” jawab Egar.
Seluruh siswa terperangah, Pak Daus menghela nafas. Ini adalah saat-saat yang sering ia prediksi, Egar bukanlah anak sembarangan, butuh kesiapan yang ekstra jika hendak mengajarkan sesuatu hal kepada anak itu.
“Perjuangan mereka adalah karena rasa takut akan penjajahan dan penderitaan, bukan karena menjunjung martabat,” lanjut Egar.
“Kalau takut kenapa mereka rela mengorbankan nyawa untuk mempertahankan kemerdekaan,” tiba-tiba suara Bu Mira muncul dari balik pintu, ternyata sejak tadi Bu Mira mendengarkan percakapan mereka.
“Orang yang takut tak akan mungkin mengorbankan nyawa,” lanjut Bu Mira.
“Ibu salah, mereka lebih baik mati daripada menderita, maka dengan itulah mereka mau mengorbankan nyawa,” Egar kembali menyanggah.
“Bukankah harga diri jauh lebih mahal daripada nyawa, bagi mereka penjajahan adalah merendahkan harga diri, maka dari itulah lebih baik mereka mati dengan harga diri yang tinggi daripada menyerah tapi harga diri terinjak-injak. Dan harga diri mereka disatukan oleh sebuah kesatuan utuh yang bernama bangsa Indonesia, dengan adanya proklamasi” Bu Mira mulai mengambil alih dialog.
Egar terdiam, matanya tajam menatap ke arah Bu Mira.
“Pak Daus, permisi. Saya ingin berbicara sebentar dengan Awan,” lajut Bu Mira.
“Iya Bu, Awan silahkan mengikuti Bu Mira,” pinta Pak Daus.
Awan terkesiap, tak biasa-biasanya Ibu kepala sekolah mengkhususkan waktunya untuk berbicara dengannya. Ada apakah gerangan? Sampai-sampai ia dipanggil secara khusus? Dan Awan pun segera memenuhi panggilan Bu Mira, mereka berjalan menuju ruang kepala sekolah.
Tags:
RitusKesunyian