Yuvi lebih memilih bungkam, tak hendak berkomentar panjang. Ia konsentrasi dengan roti sandwich yang dengan susah payah ia buat sebelum berangkat sekolah tadi.
“Udahlah, mau namanya Egar kek, Togar kek. Pokoknya gue nggak suka ma cowok antagonis dan sok jual mahal kayak gitu,” pekiknya.
“Kok loe bilang gitu, dia kan cakep, putih dan gayanya itu cool banget. Hmm... misterius gitu pokoknya,” Deffy masih belum terima dengan statemen Yuvi.
“Deffy, please deh. Bisa nggak sih kita ngobrolin topik lain,” potong Yuvi.
“Hmm.. pantesan aja, Yuvi kan pernah punya pengalaman buruk ma cowok antagonis. Jadi pantes aja dia agak Ilfill,” goda Ocha.
“Ocha, please deh.”
Deffy dan Ocha pun tertawa puas, tanda berhasil menekuk Yuvi.
****
Di dalam kelas
“Lagi sibuk kah, bro?” Suara Awan memecah konsentrasi Egar yang tengah asyik memainkan tabletnya, dengan ekspresi datar Egar memandang ke arah Awan.
“Ini,” lanjut Awan sambil menyodorkan selembar kertas berisi kolom-kolom yang harus ia isi, “Ini adalah formulir sebagai bentuk ikatan persahabatan kita, semua anak kelas ini harus tahu nama lengkap, tanggal lahir hingga hobi yang mereka sukai, ini.”
Egar tak memperdulikan selembar kertas itu, ia malah kembali memainkan tabletnya dan mengacuhkan Awan yang sedari tadi menyodorkan lembaran kertas itu. Awan hanya mengernyitkan dahi sambil mengamati tingkah aneh Egar.
“Heh, kamu punya telinga nggak sih,” Edo yang berdiri disamping Awan, mulai membuka suara.
“Edo, udah lah jangan bentak-bentak gitu,” Awan mencoba mendinginkan keadaan.
“Hmm.. bro, namaku Awan, ketua kelas disini. Seluruh siswa di kelas sebelas bahasa telah menyatakan diri sebagai sahabat selamanya, dan mereka juga sudah mengisi formulir seperti ini sebagai tanda persahabatan. Formulir ini akan dipajang di mading kelas agar semua hafal nama lengkap hingga tanggal lahir temannya masing-masing. Dan setelah itu, kita akan membagikan pin ini sebagai tanda persahabatan,” jelas Awan sambil memperlihatkan pin bulat bewarna hijau tua tersebut.
Tapi Egar tak bereaksi apa-apa, ia malah asyik memainkan tabletnya, berselancar ke dunia maya dan membuka situs-situs penting yang rutin ia baca.
“Apakah tidak ada kerjaan lain selain menyuruh saya untuk mengisi formulir itu, buang-buang waktu saja,” ucap Egar sambil beranjak pergi meninggalkan Awan.
Sementara Edo sudah naik pitam, ia sudah mempersiapkan satu pukulan untuk Egar.
“Heh, anak baru, jangan songong loe. Anak baru aja udah blagu,” seru Edo sambil berjalan ke arah Egar dan mencengkram krah baju Egar, bersiap melayangkan pukulan.
“Edo, kamu apa-apaan sih, udah jangan main fisik,” Awan melerai.
Sementara Egar tetap tanpa ekspresi, matanya tajam menatap ke arah Edo.
“Sejak tadi gua udah muak lihat muka loe yang sok kecakepan dan sok pinter itu, sombong banget sih loe jadi anak,” ucap Edo.
Awan masih mencoba menenangkan Edo.
“Lucu sekali, waktu masuk ke kelas ini saya disebut tidak memiliki sopan santun, tapi ternyata ada murid yang jauh tidak memiliki sopan santun,” ucap Egar sambil berlalu meninggalkan kelas.
Seisi kelas tertegun, semua mencoba menenangkan Edo yang memang terkenal sangat tempramen itu.
****
Di ruang kepala sekolah
“Jadi anak itu sudah mulai masuk hari ini?” tanya Bu kepala sekolah kepada Pak Dibyo.
“Iya Bu, tentunya kita harus berbangga dengan kedatangannya. Dia anak jenius, bisa jadi dia akan memberikan banyak prestasi bagi
Tags:
RitusKesunyian