saja, jumlah piala yang terpampang di rumahnya masih lebih banyak dibanding piala-piala yang terpampang di ruang sekretariat sekolah tersebut.
“Sudahlah, saya ingin segera masuk kelas barunya. Dimana kelasnya?” ucap Egar.
Pak Dibyo pun terkesiap, sementara Egar sudah berdiri dari duduknya dan bersiap berjalan menuju kelas barunya. Mamang memberi isyarat kedua, sementara Pak Dibyo dengan cepat memakluminya.
“Na..nak Egar mengambil kelas bahasa, bukan?” tanya Pak Dibyo memastikan.
“Apakah formulir yang telah saya isi kemarin belum memberikan penjelasan? Sampai-sampai bapak masih bertanya tentang kelas yang saya ambil?” jawab Egar.
Pak Dibyo kembali memandang ke arah Mamang. Dalam bathinnya, apakah anak ini tak pernah diajarkan sopan santun? lalu dengan segera mengantarkan Egar menuju kelas barunya. Kelas Sebelas Bahasa satu. Pertemuan pertama mereka begitu kaku, ekspresi muka Egar seolah mengintimidasi Pak Dibyo. Padahal Pak Dibyo adalah salah satu guru yang ditakuti di sekolah itu.
Mereka berjalan berdampingan dan akhirnya sampai didepan pintu kelas sebelas bahasa, Pak Dibyo membukakan pintu dan meminta ijin guru pelajaran untuk memperkenalkan siswa baru.
“Ayo Nak Egar, kita masuk,” pinta Pak Dibyo.
Seluruh isi kelas terdiam, pandangan mata mereka tertuju kepada Egar, siswa baru kelas sebelas bahasa SMA Cahaya hati.
“Hari ini kalian kedatangan teman baru, dia pindahan dari SMA unggulan,” ucap Pak Dibyo memperkenalkan.
Selanjutnya Pak Dibyo memandang ke arah Egar, memberikan isyarat untuk segera memperkenalkan diri didepan teman-teman barunya.
“Nak Egar, ayo memperkenalkan diri,” lanjut Pak Dibyo.
Egar tak mengindahkan kata-kata Pak Dibyo. Pandangannya tertuju pada bangku kosong dibelakang itu.
“Apakah kita harus membuang-buang waktu dengan perkenalan yang tidak penting seperti ini?” sahut Egar.
Seisi kelas terbeliak dengan kata-kata Egar, terlebih kata-kata itu ia ucapkan kepada Pak Dibyo, Waka Kesiswaan yang merupakan salah satu guru killer di sekolah itu, kelas pun menjadi riuh redam, mereka saling berbisik satu sama lain.
“Apakah bangku kosong itu tempat duduk saya?” lanjut Egar sambil menunjuk ke arah bangku kosong yang terletak di pojok belakang.
Pak Dibyo menelan ludah, raut mukanya berubah. Ingin sekali ia memberikan hukuman kepada Egar karena telah berani mengacuhkan perintahnya, dan bersikap selayaknya majikan yang harus diperlakukan berbeda dengan yang lainnya.
“Kenapa Bapak diam saja?” desak Egar.
Pak Dibyo terkesiap, air mukanya merah padam. Tak terlihat lagi wujud Pak Dibyo yang killer dan ditakuti itu. Sepertinya, ia kehilangan wibawa di depan kelas bahasa satu, dan Egar adalah satu-satunya siswa yang berhasil menjatuhkan wibawanya.
“Apa disekolah kamu sebelumnya tidak pernah diajari sopan santun?” sambung Bu Nurmi, guru bidang studi Antropologi yang waktu itu sedang mengajar.
Egar memandang ke arah Bu Nurmi, sorot matanya tajam menukik ke arah perempuan paruh baya dan berjilbab kuning itu.
“Menurut Ibu apa itu sopan santun?” tanya Egar.
Seisi kelas semakin terpaku dengan sikapnya, Bu Nurmi pun juga berubah raut wajahnya. Entah, mahluk dari planet mana yang hari itu datang dan akan menjadi bagian dari kelas mereka.
“Apakah guru yang selalu minta dihormati patut mendapat sopan santun?” lanjut Egar.
Bu Nurmi tertegun, tak pernah ia bertemu murid sedingin Egar, yang dengan berani melawan kata-kata Gurunya.
“Su..sudah, nak Egar sekarang langsung saja duduk di kursi kosong itu,” Pak Dibyo menengahi, lalu ia mendekat ke Bu Nurmi dan membisikkan sesuatu.
Tags:
RitusKesunyian