#1
Manusia tanpa ekspresi
Kadang ia harus merenung kenapa bisa menjalani kehidupan yang membosankan seperti ini, hidup dalam kantung bonsai yang sempit, dikelilingi dinding-dinding biru yang bahkan sampai warna dan bau catnya ia hafal betul. Hidup dalam istana yang mewah namun sunyi bagaikan malam yang tak berkesudahan.
Ia berjalan tanpa mengetahui apa yang dituju, ibarat daun yang terjatuh dalam aliran sungai dan terombang-ambing oleh arus. Ah, ia bahkan tidak tahu untuk apa ia hidup dan apa yang namanya hidup. Baginya, kehidupan adalah sebuah ritus yang mau tak mau harus ia jalani sebagai upaya untuk memenuhi ambisi orang lain : Mamanya.
Setiap hari ia bangun pagi, mempersiapkan buku-buku, dan berdandan rapi, lalu memanggil sopir untuk mengantarkannya ke sekolah. Ya, setidaknya itulah yang harus ia lakukan setiap hari. tak ada satu hal pun yang perlu ia keluhkan, dan tak ada ruang untuk kesedihan, sekalipun hidup ditengah kesunyian seperti ini. Bunuh perasaan itu, atau kita akan mati sia-sia. Itulah pesan agung yang kini ia yakini.
“Bagaimana, sudah siap Den?” suara Mamang memastikan apakah dia sudah siap untuk berangkat ke sekolah.
“Sudah,” jawabnya singkat sambil menata duduknya. Ia sudah rapi dan bersiap menuju Sekolah.
“Sekolah Aden yang baru ini tidak terlalu ketat, tapi masih masuk dalam sekolah favorit, semoga Aden kerasan disini,” lanjut Mamang.
Ia tak menjawab, hanya membuang muka ke arah jalanan yang masih sepi. Sementara Mamang hanya menelan ludah, ia sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini, diacuhkan oleh anak majikannya, meskipun ia baru saja berbicara panjang lebar tak apalah.
Ini sudah tiga kali anak majikannya itu minta pindah sekolah, pertama ia bersekolah di Yayasan yang dikelola oleh Ibunya, disana ia bertahan hingga satu tahun, baru ketika kelas dua, ia minta pindah lagi, dan kemudian mendapatkan sekolah swasta yang bonafit, tapi baru satu semester ia sudah bosan dan meminta pindah sekolah lagi. Ini adalah hari pertama masuk ke sekolah barunya, sebuah sekolah swasta yang lumayan terpandang di kota itu, sekalipun konsep pendidikannya agak tak lazim.
Tidak sulit baginya jika ingin pindah sekolah, apalagi dengan kemampuan akademiknya yang diatas rata-rata. Sekolah manapun akan berfikir dua kali jika hendak menolaknya, ditambah kondisi keuangan keluarga yang begitu mendukung. Hampir apa saja yang ia kehendaki selalu terkabul, termasuk keinginannya untuk pindah sekolah.
Jika ia mengiginkan sesuatu, ia tinggal meminta Mamang. Mamang adalah sopir sekaligus ajudan pribadinya, yang menjadi tangan kanan Ayahnya. Tugas Mamang hanya merespon permintaannya. Mamanglah yang selama ini menggantikan posisi orang tuanya. Seperti menandatangani surat kepindahan, dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang dilakukannya. Sebenarnya Mamang lebih cocok disebut orang tua asuh daripada sopir atau ajudan.
“Aden harus mulai terbiasa dengan sekolah baru Aden, karena meskipun sekolah yang lumayan terpandang, tapi latarbelakangnya bermacam-macam,” pesan Mamang.
Tapi lagi-lagi ia tak memperhatikan petuah Mamang, posisinya tetap menghadap keluar, membuang muka sambil melihat ke arah jalanan yang mulai ramai dengan lalu lalang kendaraan.
“Ayo Den kita turun, sudah sampai,” pinta Mamang.
Ia mengamati kondisi sekolah itu, SMA Cahaya Hati namanya, sudah terdengar suara riuh siswa-siswi. Dengan malas ia keluar mobil dan berjalan bersama Mamang menuju ruang sekretariat sekolah. Banyak siswa yang memperhatikannya, tapi ia tak pernah memperdulikan.
“Silahkan masuk,” Waka Kesiswaan mempersilahkan mereka berdua masuk.
Dengan ekspresi dingin, ia menyalami waka kesiswaan.
“Ini Pak, yang akan menjadi siswa baru di sekolah ini,” jelas Mamang.
“Oh, ini. Iya, kami pihak sekolah sangat senang sekali menerima murid baru seperti Nak Egar, kalau boleh tau kenapa nak Egar ingin pindah ke sekolah ini?” tanya Pak Dibyo, Waka kesiswaan itu.
Egar tak menjawab, ekspresinya dingin sambil menatap piala-piala yang tertata rapi dalam lemari kaca.
“Apakah piala-piala ini begitu penting sampai-sampai dipajang diruang sekretariat sekolah seperti ini?” Egar malah mengomentari hal lain.
Pak Dibyo dengan raut bingung memandang ke arah Mamang, gelagat Egar membuatnya jengah, Mamang hanya mengernyitkan dahi, ia sudah tahu sikap anak majikannya itu, dan ia harus menjelaskannya ke Pak Dibyo setelah ini.
“Maksud nak Egar? Bukankah piala yang terpajang disini menunjukkan jika sekolah ini berprestasi?”
Egar hanya tersenyum getir, baginya piala-piala itu tak lebih dari sekedar sampah. Ia punya banyak dirumah, sejak SD Egar sudah rajin mengumpulkan piala-piala seperti itu. Mulai dari juara kelas, lomba cerdas cermat, lomba karya ilmiah hingga lomba olimpiade. Mungkin...-- Bersambung
Tags:
RitusKesunyian