Cinta yang Faktual


Ilustrasi. sumber : Google

Untung saja Ibu warung agak lama mempersiapkan kopi hitam pesanan saya. Kopi itu baru datang setelah sepiring makan siang itu berpidah semuanya ke perut. Tak lama kemudian, langit mendung mulai memuntahkan gerimis dan disambut rintik yang kian menderas. Tiga pengunjung baru datang dan duduk di depan saya. Seorang Ibu, dan dua orang anak. Yang satu berseragam SD dan yang satu berseragam Pramuka, dilihat dari perawakannya, mungkin masih SMP.

Saya melihat mereka sejak merapatkan motor di parkiran minimalis depan warung. Sang Ibu yang mengemudikan, anak yang masih SD duduk di depan, dan kakaknya dibonceng di belakang. Nampak akrab, meskipun terlihat bergerombol. Sepertinya, Sang Ibu baru menjemput dua putranya dari sekolah.

Selama kurang lebih 20 menit kedepan, saya menjadi pendengar setiap percakapan mereka. Sambil menikmati secangkir kopi hitam, saya menyimak obrolan ringan dan kadang jenaka, disertai beberapa segmen foto selfie maupun grofie. Keluarga yang kocak. Pikir saya.

Setelah foto selfie, mereka mengomentari ekspresi dari setiap foto masing-masing, dengan komentar yang menggoda. Saya yang bukan bagian dari peristiwa konyol itu, sesekali mengulum senyum. Sang Ibu yang Humoris, disambut anaknya yang masih SD yang tak kalah ekspresif, dan direspon juga oleh putranya yang masih SMP, yang terlihat lebih pendiam. Tapi percakapan mereka nampak balance (seimbang), tak ada yang saling mendominasi, dan semuanya memiliki peran masing-masing.

Sejurus kemudian, saya merasakan begitu hangatnya hubungan mereka. Hubungan Ibu dan anak yang seolah tak ada sekat, tak ada kecanggungan. Sang anak dengan santai menggoda Ibunya, tapi masih dalam taraf kesopanan, dan sang Ibu yang merespon dengan jenaka pula. Berada kurang lebih 60 cm dari tempat mereka, saya seolah merasakan kehangat keluarga kecil itu.

Sekilas saya amati wajah kedua putranya, yang meskipun baru pulang dari sekolah, tak ada raut lelah, wajah mereka cerah ceria, pias bersama renyai-renyai hujan yang sesekali menggempur muka kami lewat jendela karena saking derasnya. Yang paling sengsara tentu saya, karena letak duduk saya yang dekat jendela. Tapi tak ada pikiran untuk sekalipun pindah tempat, saya ingin dekat dengan mereka, menikmati suasana yang mereka ciptakan sore itu.

Sejenak saya merenung, kalau di warung saja se-ramai ini. Bagaimana kalau di rumah ya? Saya jadi teringat kata-kata Gary Snyder yang pernah saya dapat dari Daily Zen “...Nature is not a place to visit. It’s home...” kalimat itu terdengar renyah dan kontemplatif.

Rumah, tempat berkumpulnya keluarga, tempat berkumpulnya orang-orang yang saling mencintai dan menyayangi, tempat dimana kita menjadi seseorang apa adanya. Tempat dimana kita merebahkan lelah, menyiapkan peluru untuk mengarungi kehidupan, tempat dimana kita mengenal seseorang yang kita sebut Ibu dan Bapak, Adik dan kakak, atau Kakek dan Nenek, Paman dan Bibi. Mereka, adalah bagian integral dari jaring perasaan yang merajut satu makna universal : keluarga.

Dan kita bertemu mereka, dipertemukan mereka, dalam sebuah tempat bernama Home (rumah). Benar. Nature is’t a place to visit, it’s home.. setidaknya, melihat cairnya percakapan Ibu dan dua putranya di warung siang itu, membuat saya sadar, bahwa tempat relaksasi terbaik adalah rumah, adegan terbaik dalam memupus rasa lelah, jenuh, rindu, dan sedih itu, adalah dengan bertemu keluarga, bertemu dengan orang yang secara spesifik kita sebut orang tua : Ibu dan Bapak.

Percakapan itu, ke-jenakaan itu, kehangatan itu, adalah sebaik-baiknya relaksasi. Dan rumah, adalah sebaik-baiknya tempat rekreasi. Mungkin makna itu terlalu curam, tapi itulah yang saya yakini selama tiga tahun terakhir ini, dan semoga akan berlanjut ketika kelak mendapatkan amanah Tuhan untuk membangun sebuah keluarga.

Itulah mungkin, satu dari sekian miliar makna cinta. Cinta membuat orang teduh – dan itulah makna cinta yang secara faktual saya percayai. Lantas, Nikmat Tuhan yang mana lagi yang hendak kamu dustakan? Jika kesederhanaan saja bisa terlihat mewah dan menyejukkan.

Warung selera rasa, depan gapura kertopamuji, Malang.
4 Desember 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak