Suatu sore di rumah Pradana Boy ZTF




koleksi buku Mas Boy
Sayup-sayup terdengar suara anak-anak perempuan membaca Alqur’an dari dalam rumah, sementara saya dan Fajrin duduk di beranda, Mas Hasnan masih sibuk dengan laptopnya, mengedit jurnal terbaru yang akan diterbitkan. Mas Boy [Pradana Boy] masih berjalan mondar-mandir ngemong anaknya yang masih kecil. Lalu, Mas Boy mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah. Mata saya tertumbuk pada 2 rak besar berisi buku-buku.

Sore itu (22/11/14), atas ajakan Mas Hasnan, kami mampir ke rumah Mas Boy, setelah diskusi sederhana di kantor PSIF (Pusat Studi Islam dan Filsafat). Disana, kami bertemu dengan Zuni dan beberapa kader IMM UM, yang ternyata tengah belajar tilawatil Qur’an dengan Istri Mas Boy. Ruang tengah Mas Boy yang menggema, membuat alunan ayat Alquran yang mereka lantunkan, serasa menjadi soundtrack perbincangan kami sore itu, di ruang tamu ada saya, Fajrin, Yusuf, Mas Hasnan, Mas Boy dan tentunya tiga putra/i Mas Boy.
 
Ngobrol di kantor PSIF
Saya sempat mendekati dua rak buku besar itu. Mas Boy punya beberapa koleksi tafsir lengkap, mulai dari Tafsir Fi Zilail, Tafsir Al Misbah, dll. Termasuk buku-buku berbahasa inggris yang ia boyong dari luar negeri, sewaktu kuliah di Australia maupun Singapore. Beberapa kali saya berkunjung ke rumah para tokoh, dan pemandangannya sama ; rata-rata mereka memiliki koleksi buku yang banyak, dan tertata rapi di rak-rak. Mas Boy menjelaskan bahwa buku-buku ini beliau koleksi semenjak masih kuliah s1.

Lantas saya mengingat kembali koleksi buku-buku saya di rumah. 80% koleksi buku saya adalah Novel, dan rata-rata adalah novel diskonan alias hasil cuci gudang, beberapa buku teori perkuliahan, buku hadiah dari acara Kepenulisan, hingga buku-buku “how to” yang agaknya saya beli karena terhipnotis oleh cover dan judulnya. Saya lupa kalau itu adalah teori marketing. Saya sempat kepincutdengan paket Tafsir Al Misbah yang harganya 1 juta lebih itu, kala itu saya baru saja dapat rejeki nomplok 4 juta dari beasiswa magang kemenag. Tapi niat itu saya urungkan.
Yusuf lagi melihat-lihat buku

Saya teringat jika kesadaran saya mengoleksi buku baru muncul akhir-akhir ini. sebelumnya, saat masih kuliah, kadang saya hanya pinjam di perpustakaan, maksimal mem-foto copy, sisanya googling di internet. Saya baru ngehkalau mengoleksi buku itu penting. Karena itulah yang bisa menjadi investasi, dan barangkali akan menjadi teman nostalgia di masa depan. Haha

Selanjutnya, kami berbincang santai. Mas Boy sedikit bercerita soal JIMM dan Rumah Inspirasi, serta flash back ke awal-awal berdirinya JIMM hingga mimpi besar Kang Moeslim Abdurrahman yang belum terealisasi karena Allah Swt terlebih dulu memanggilnya. Mas Boy pun juga menceritakan prospek JIMM di masa depan, termasuk Rumah inspirasi yang menjadi spirit gerakan JIMM. Dalam waktu dekat, JIMM juga akan menerbitkan Jurnal yang akan disebarkan ke PDM dan PWM se-Jawa dan Sumatera.

Fajrin lagi ngeliatin buku juga
Di segmen yang lain, saya juga sempat bertanya tentang waktu membaca Mas Boy. Saya pernah membaca artikel, bahwa tokoh sekaliber Amien Rais dan Buya Syafii Maarif, menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk membaca buku. Apakah kiranya hal itu juga dilakukan Mas Boy? Ternyata tidak. Mas Boy bercerita bahwa dia bisa sewaktu-waktu membaca, terutama ketika dalam perjalanan, entah di Mobil atau Pesawat. Mas Boy juga menjelaskan, yang terpenting bukan banyaknya membaca, tapi kualitas membaca.

Di awal-awal mahasiswa, ia memang banyak membaca, dan itulah yang kemudian menjadi kebiasaan. Mas Boy sendiri menyadari, bahwa membaca itu butuh pembiasaan. Tetapi pembiasaan saja tidak cukup. Kadang banyak membaca, tapi tidak paham atau belum bisa memahami apa yang dibaca, karena mungkin saja kajiannya terlalu berat. Tapi Mas Boy menyarankan, kalau belum bisa paham apa yang dibaca, diteruskan saja sambil memahami.

Tapi kadang kala, apa yang sudah dibaca dan apa yang sudah dipahami, akan mengendap dalam kepala. Ia akan hilang kalau tidak selalu diingat. Untuk itulah forum diskusi dan menulis itu penting agar apa yang kita baca dan kita pahami, bisa mengendap lebih lama dalam otak. Seyogyanya, apa yang sudah kita baca, kita ungkapkan kembali entah melalui bahasa verbal (bicara) maupun melalui tulisan.

Jadi kalau saya buat siklus sederhananya, agar membaca bisa efektif dan tetap awet dalam ingatan kita, menurut Mas Boy harus melalui empat tahap. Membaca harus butuh pembiasaan à Pemahaman à Pengendapan à Ungkapkan kembali. Jadi setelah terbiasa membaca, maka cobalah memahami, setelah itu apa yang kita baca akan mengendap dalam otak, agar tak hilang maka Ungkapkanlah kembali apa yang sudah kita baca tersebut, baik dengan cara berbicara di forum diskusi, maupun melalui tulisan.

Itulah resep membaca efektif dari Mas Boy. Untuk saat ini, dalam membaca, Mas Boy pun punya strategi sendiri, yaitu memulai dari indeks. Bukan lagi banyaknya buku yang ia baca, tapi lebih pada kualitas membaca. Tak heran kalau Mas Boy sudah pada level ini, karena tentu beliau sudah melalui proses yang panjang tadi, apalagi sekelas mahasiswa Ph.D.

Akhirnya, selepas Magrib kami pamit pulang. Malam itu kami punya agenda ke DAD koms. Pelopor UIN Malang di Balai Dsn. Bulukerto Kota Batu. Dalam perjalanan, saya terus merenung, mengoreksi kebiasaan membaca saya yang ternyata sangat payah. Hampir jarang saya menghabiskan satu buah buku, terkecuali Novel. Saya juga lebih sering membaca artikel-artikel pendek di internet atau koran. Maka tak heran jika otak saya jadi otak koran. Sekali dibaca – dibuang. Atau minimal untuk bungkus bawang, lombok, dan terang bulan limaratusan. Hehe *Bercanda.

Saya juga baru ingat, bahwa dalam setiap diskusi, kelemahan terbesar saya ada pada teori-teori, atau seperangkat metodologi. Karena jarangnya saya membaca buku secara utuh, dan lebih sering membaca artikel pendek. Saya lebih banyak berbicara hal-hal yang faktual dan temporal.

Sore itu –berawal dari silaturahim sederhana di rumah Mas Boy, barangkali akan menjadi titik rapiditas dalam kehidupan saya. Semacam reagen kimiawi yang memadukan dua unsur penting dalam akselerasi pemikiran yang sempat beku, bahkan stagnan karena terlalu sering bergulat dalam formalitas yang menjenuhkan.

Satu catatan penting untuk para pembaca. Silaturahim ternyata bisa mengakselerasi cara kita berfikir :) terima kasih sudah membaca catatan sederhana ini.

Batu, 23 November 2014
A Fahrizal Aziz

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak