Ilustrasi |
Kapan dibuat aransemennya? Pertanyaan itu muncul setiap saya memperkenalkan lirik dan nada untuk sebuah lagu yang saya tulis khusus sebagai “saoundtrack” novel. Iseng-iseng, saya memang membuat nada plus lirik lagu (tanpa aransemen). Kenapa? Karena saya tidak bisa bermain musik. Saya tidak bisa bermain gitar atau piano. Lagu-lagu tersebut saya rekam dan kemudian saya perkenalkan dengan beberapa teman dekat.
Lagu itu pun, saya tulis untuk sekedar menjadi pengingat novel itu. Mencoba membuat interpretasi tersendiri, terutama ketika menulis novel “Andaikan sayapmu patah”. Dimana tokoh utamanya seorang vokalis band.
Saya membuat sebuah lirik, plus nada sederhana. Tujuannya adalah untuk merepresentasikan novel itu, agar lebih orisinil. Saya tak pernah berfikir untuk membuatnya menjadi sebuah lagu utuh. Andaikan diterbitkan, pembaca tentu (hanya) akan melihat lagu tersebut sebatas lirik. Tak bernada. Tak berirama. Lebih hanya sekedar kata-kata layaknya sebuah puisi.
Lalu, kapan akan dibuatkan aransemen? Saya tidak tahu. Saya juga tak akan minta tolong teman saya yang ahli bermusik untuk membuatkan aransemen. Karena menurut saya, untuk sebuah karya seni, sesuatu tersebut haruslah muncul dari creatornya. Misalkan, ada ahli musik yang mendengar lirik plus nada lagu tersebut, lalu ia tertarik untuk membuatkan aransemennya. Atau misalkan (dan semoga) novel ini terbit dan kemudian di film-kan. Maka kemungkinan lirik plus nada itu akan menjadi sebuah lagu dengan instrumentasi tertentu.
Saya tidak mau terlalu ngotot. Apalagi saya sendiri tak punya keahlian khusus untuk membuat sebuah instrument. Biarlah lirik dan nada itu menemukan jiwanya sendiri. Menemukan seseorang yang bersedia melengkapinya. Entah karena sekedar suka, atau untuk sebuah project yang lebih besar. Saya sudah merasa cukup karena telah membuat lirik dan nadanya, karena itulah yang bisa saya lakukan sejauh ini.
Trims. ^_^
Tags:
Bincang