Konstruksi HAM untuk Kemanusiaan



Saya mengikuti Workshop HAM (Hak Asasi Manusia) yang diadakan oleh Pusam (Pusat Studi Agama dan Multikultural) Pascasarjana UMM bekerja sama dengan The Asian Foundation pada tanggal 5-6 November 2014 di Hotel UMM Inn. Saya mengkuti acara tersebut atas rekomendasi PSIF (Pusat Studi Islam dan Filsafat) yang dihubungkan oleh Mas Hasnan Bachtiar.

Beberapa pemateri dihadirkan dalam acara tersebut, antara lain Pak Budhy Munawar Rochman, Bu Cekli Pratiwi, Mbak Asfinawati dari LBH Jakarta, dll.

Selama ini saya memang kurang begitu konsen terhadap isu-isu HAM, selain tak memiliki cukup wawasan soal UU di Konstitusi yang mengatur soal itu, juga dikarenakan minimnya situasi konflik yang pernah saya alami. Tapi saya mengambil satu point penting dalam workshop tersebut, bahwa HAM adalah sebuah konstruksi nilai yang dibuat untuk meneneguhakan eksistensi manusia.

Namun Perspektif HAM kadang kala tak bisa diterima oleh semua kalangan, terutama jika itu berbenturan dengan norma Agama dan Budaya. Indonesia termasuk negara yang memiliki tata nilai cukup kuat dalam dua hal tersebut.


Untuk itu, sempat ada friksi ketika Indonesia akan kedatangan beberapa tokoh yang dinilai berpotensi merusak tata nilai tersebut, misalkan Lady Gaga dan Irshad Manji. Kedua tokoh dinilai membawa efek negatif untuk kesehatan moral bangsa. Seperti isu-isu soal LGBT yang disatu sisi bagian dari Hak Asasi, namun di lain hal mengalami pertentangan serius.

Workshop HAM yang diadakan Pusam tersebut lebih menyoroti isu-isu kebebasan beragama. Mulai dari kebebasan dalam memeluk agama hingga keyakinan. Dalam forum workshop itu juga hadir beberapa perwakilan dari agama Kristen, Hindu dan Budha. Secara administratif, Indonesia memang menganut enam agama, namun Indonesia juga memiliki banyak keyakinan, yang mungkin saja hasil dari refleksi ajaran animisme dan dinamisme.

Sesungguhnya, HAM hadir untuk menjaga keberagamaan dan kebebasan itu semua, tanpa kemudian mereduksinya dalam satu firm pemahamanan. Termasuk perbedaan dalam memandang suatu gejala sosial tertentu. HAM mengajak manusia melihat manusia lain sebagai manusia, bukan agama, suku, ras, ideologi, dll.

Jika demikian, maka tak ada lagi mayoritas dan minoritas. Karena sama-sama memandang yang lain sebagai sesama manusia.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak