Canggungnya di panggil Ustad



Duduk serius sambil mengamati para mahasantri presentasi esai serta berkesempatan menilai dan mengujinya dengan beberapa pertanyaan, ternyata bukan hal yang membosankan. Malam itu (25/11/14) saya diundang untuk menjadi juri esai dan presentasi acara gebyar upkm dan Madrasah Intelektual Ma'had Al Jamiah (eks. Ma’had Sunan Ampel Al Aly). Acara dimulai pukul 20.00 dan berakhir sekitar pukul 22.30.

Selain saya, ada dua juri lainnya, Ust. Umar Al Faruq dan Ust. Muhammad Faruq. Keduanya lebih senior dari saya, pernah menjadi Musyrif dan Murobbi. Cocok di panggil Ustad. Berbeda dengan saya, yang memang pekerja media. Agak canggung juga ketika MC memanggil saya Ust. Fahri. Belum lagi sms dari panitia yang beberapa kali memanggil saya “Ustad”. Sebutan Ustad rasanya terlalu mewah bagi saya pribadi.

Lebih cocok di panggil Mas atau Kang. Karena terminologi Ustad belum tepat jika di alamatkan ke saya, yang bukan seorang pendidik di sebuah lembaga formal, apalagi pondok pesantren.

Siang harinya sebelum acara presentasi tersebut, saya meminta file esai ke panitia. Karena saya di tunjuk sebagai juri esai, yang lebih konsen mengomentari esai. Saya kira penulisnya perorangan, ternyata tidak. Berkelompok. Dihitung setiap mabna.[1]Karena waktu yang mepet, saya harus ngebut untuk membuat penilaian. Ada 9 esai yang harus saya nilai.

Membaca esai mereka, semacam membaca semangat heroistik mahasiswa baru, yang masih menggebu-gebu untuk mengejar gelar “Intelektual”. Saya sendiri, merasa bangga semenjak menjadi bagian dari JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Ada kata “intelektual”. Tetapi saya lekas sadar bahwa sebutan intelektual bukan sekedar gelar prestise, tapi dibalik itu ada tanggung jawab besar, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan.

Hingga akhirnya, saya tidak berani menyebut diri sebagai “intelektual”. Sama halnya ketidak beranian saya menyebut diri sebagai “penulis”. Biarlah orang lain yang memberi dua sebutan tersebut, meskipun secara pribadi, saya masih harus belajar banyak untuk disebut “intelektual”.

Tapi tak ada salahnya juga membuat acara dengan judul “Madrasah intelektual”. Hal itu bisa memotivasi para mahasantri, yang masih semester 1 itu untuk serius menggarap esai-nya, menggali data lebih serius, dan mempresentasikannya dengan baik. Karena masih semester 1, maka masih banyak waktu dan kesempatan untuk mengejar cita-cita menjad intelektual.

Terima kasih, senang bisa menjadi pembaca, penilai, sekaligus juri dalam acara malam itu.

25 November 2014
A Fahrizal Aziz


[1]Di Ma’had ada 9 mabna, mabna dihitung berdasar gedung. Berarti ada 9 gedung. Setiap gedung memiliki nama masing-masing.

Ahmad Fahrizal Aziz

Blogger, Aktivis Literasi, suka jalan-jalan dan nongkrong

Posting Komentar

Tinggalkan komentar di sini, terima kasih sudah mampir.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak