Di muat di Majalah Suara Akademika UIN Malang
Tanggal Wawancara 16 Desember 2012
Pancasila adalah ideologi bangsa yang telah dipilih dalam sebuah pergulatan yang panjang. Dan Pemuda adalah bagian dari instrument kebangsaan yang penting dalam mewujudkan ideologi bangsa tersebut dalam manifestasi yang lebih riil. Hal itu dikarenakan, Pemuda adalah bagian integral dari Masyarakat luas, mereka adalah entitas yang suatu saat akan menjadi pemimpin-pemimpin baru menggantikan generasi tua yang lambat laun akan rapuh dan hilang. Sehingga akan menjadi musibah besar ketika para Pemuda kini tidak memahami apa idiologi Pancasila dan bagaimana perannya sejak dini?
Mengamalkan Pancasila tentu merupakan tanggung jawab Masyarakat Indonesia secara luas, terlebih Pemuda yang merupakan penerus tonggak kepemimpinan masa depan. Lalu bagaimana peran pemuda dalam mewujudkan Pancasila? Berikut petikan wawancara Reporter Majalah suara Akademika dengan dua sosok Pemuda UIN Maliki Malang, yang tak lain adalah Abdul Aziz,M.Pd (Pendiri Griya Baca Institute yang juga mantan Editor Majalah Suara Akademika) dan Achmad Wildan Al Faizi (Ketua DEMA Universitas UIN Maliki Malang periode 2012-2013).
Oleh: Tina Siska Hardiyansah, Moh. Fahrizal Aziz
Aziz: Pemuda harus jadi inisiator
Ditemui di kediamannya di kawasan perumahan Graha Dewata Estate, sosok muda yang juga merupakan mantan Chief Editor Majalah Suara Akademika ini mengatakan jika Pemuda harus menjadi inisiator. Pemuda harus mampu mengambil peran-peran strategis dalam upaya membangun dan mengawasi kebijakan Publik.
Sebagai aktifis sosial kemasyarakatan, Pria kelahiran sumenep (1980) tampak agak prihatin dengan kondisi pemuda saat ini. Banyak pemuda yang dulunya aktivis organisasi kampus, luntur idealismenya ketika memperoleh posisi yang sifatnya pragmatis.
“Idealisme pemuda itu kebanyakan hanya ada ketika mereka menjadi aktivis kampus, ketika mereka sudah terjun ke Masyarakat apalagi menduduki jabatan-jabatan strategis idialismenya luntur, buktinya trend kasus korupsi dari akhir tahun 2011 hingga akhir tahun 2012 ini terjadi pada wajah-wajah aktifis muda yang mulai bersinar karirnya. Inilah bukti jika pemahaman idiologi mereka yaitu Pancasila sangat rapuh,” ungkap Ketua Dewan Pembina Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep UIN Maliki Malang itu.
Menurutnya, Pancasila itu di gagas oleh founding fathers kita untuk upaya meredam segala bentuk perbedaan yang dulu ada. Bagaimana Masyarakat Indonesia itu mampu memiliki konsep pemahaman tentang Ketuhanan, sosial, Ekonomi dan kebudayaan. Pemuda sebagai calon penerus generasi bangsa harus memahami itu.
Penulis buku “Menanam benih, Menuju Indonesia jernih” itu juga mengatakan jika pembahasan tentang, masih pantaskah idiologi pancasila menjadi dasar negara itu merupakan pembahasan yang sudah usang, hari ini harusnya Masyarakat khususnya kaum muda tidak lagi membincang itu, melainkan membincang lebih dalam tentang bagaimana nilai-nilai Pancasila itu di ejawantahkan dalam bentuk riil.
Sila Pertama misalnya, Ketuhanan yang maha esa adalah bentuk penghambaan kepada Tuhan (Hablu Minallah), yaitu suatu sifat kesadaran jika ada sang segala Maha dan kemudian menyadari akan perbedaan dalam konteks teologis. Indonesia terdiri dari beragam agama. Maka tugas Pemuda tidak lagi mendiskusikan perbedaan-perbedaan tersebut melainkan melakukan kegiatan riil untuk bagaimana tetap menjaga keutuhan dan kebersamaan itu.
“Ketuhanan yang maha esa itu adalah bentuk penyadaran tertinggi akan sang pencipta, dan di Indonesia ini terdiri dari berbagai macam agama, maka kemudian contoh riil untuk mengejawantahkan sila pertama itu yang dengan menjaga kerukunan antar umat serta menperjumpakan persamaan yang ada. Sehingga tidak ada lagi kasus terorisme, syiah di sampang Madura, Ahmadiyah dan lain sebagainya,” jelas alumnus Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Maliki Malang tersebut.
Sementara sila kedua yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, memuat nilai-nilai humanisme, dimana Masyarakat harus memiliki empati, merasakan apa yang dirasakan orang lain. Sehingga akan terbangun sifat saling peduli kepada sesama yang kemudian akan memunculkan harmonisasi dalam kehidupan.
Sila yang ketiga adalah persatuan Indonesia yang bermakna jika kita adalah bangsa yang satu. Menurut Pendiri Lingkar Study Wacana (LSW) Indonesia ini, hal inilah yang hari ini terlihat lemah dan kurang harmonis dalam konteks ke-Indonesiaan. Ia mencontohkan di dalam konteks Mahasiswa, organisasi-organisasi Mahasiswa masih terbelenggu oleh idiologinya masing-masing sehingga susah untuk duduk bersama, bersatu dalam membangun masyarakat.
Susahnya sifat persatuan Indonesia itu tidak hanya terjadi di lintas agama, dalam internal agama pun juga banyak. Jika hal ini terus terjadi maka kita akan terkotak-kotak dan Bangsa tidak akan menjadi besar. Ia mencontohkan di NGO (non goverment Organization) yang ia Pimpin itu mencoba untuk mempersatukan seluruh elemen Masyarakat, baik itu lintas idiologi hingga lintas Agama. “Itulah yang seharusnya di lakukan anak muda sekarang ini,” tegasnya.
Sila yang keempat mengajarkan tentang pentingnya hidup berdemokrasi. Sila keempat ini memuat nilai-nilai tentang penting untuk menghargai konsep-konsep orang lain, dalam hal ini pemimpin. Jadi harus menjadi pendengar yang baik, namun hari ini agaknya nilai itu juga sudah mulai luntur, “Jangankan konsep besar Demokrasi seperti dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Konsep yang sederhana saja kita kadang lupa, seperti halnya merasa paling benar dan menyalahkan orang-orang yang tidak seirama, sepemahaman,” ungkapnya.
Pendiri Griya Baca Institute itu juga menjelaskan, jika pemuda dalam mengamalkan sila keempat ini, selain menjadi pendengar yang baik adalah dengan ikut mengawal kebijakan publik, mengawal progam-progam para pemimpin, sehingga akan mampu mengontrol serta mengevaluasi sejauh mana keberhasilannya yang kemudian akan berdampak pada perbaikan Masyarakat.
Sementara sila yang kelima mengajarkan bagaimana kaum muda untuk turut serta mengawal keadilan bagi Masyarakat. Ditengah distribusi kesejahteraan disemua level Masyarakat, khususnya sipil. Kaum muda harus menjadi tulang punggung Masyarakat dan mempertajam fungsinya sebagai agen of change and agen of social Control.
“Pemuda harus mengawal kebijakan pemerintah, agar masyarakat juga tahu sejauh mana keberhasilan progam dan siapa saja yang pantas dan tak pantas untuk di pilih kembali menjadi pemimpin,” pungkas tokoh muda Jawa Timur tersebut.
Wildan: Pancasila, kalah dengan Boy Band.
Di temui di tempat terpisah, mantan ketua HMJ PBA itu menjelaskan jika Secara universal, hingga detik iniMahasiswa yang mau peduli terhadap makna dari pancasila masih dapat dihitung dengan jari. Jangankanmahasiswa, dosen pundemikian.Jikapedulisajatidak, lantasbagaimanamerekaakanmengamalkannyadalamkehidupansehari-hari?
“Miris, diakui atau tidak, generasi hari ini, tak terkecuali mahasiswa lebih suka mendalami geneologi boyband ketimbang memikirkan nasib bangsa, memahami dan mengamalkan pancasila salah satunya,” ungkapnya.
Tanggung jawab serta aktualisasi nilai-nilai pancasila tidak hanya dibebankan kepada mahasiswa, melainkan tanggung jawab semua pihak. Namun, sebagai generasi muda, mahasiswa memang mempunyai tanggung jawab lebih dalam meneguhkan nilai-nilai pancasila. Apalagiakhir-akhirini, kitamelihatsemakinpudarnyanilai-nilaipancasila di tengah-tengahkehidupanberbangsadanbernegara.Bangsainiseakankehilanganarahuntukdituju.Keadaaniniterjadibukanlainkarenamenyimpangnyabangsainidaripeganganhidupdanlandasanberbangsa: Pancasila.
Menurut pria asal Madura itu, semuaelemenbertanggungjawabuntuk merealisasikan nilai-nilai pancasila. Karenapadaprinsipnya, pancasilamerupakanpilarbangsa Indonesia. Para sesepuhdanpendiribangsatelahmewariskanlimanilai-nilaidasar yang dapatdijadikanlandasanbagimasyarakatdalamkehidupanberbangsadanbernegara. Dan seharusnya, setiapindividumenyadariuntukbersama-samameneguhkannilai-nilaipancasilaitusendiri.
“Maraknyabentrokanantarwarga, antarsuku, danantarpelajar yang seringkalihanyakarenahal-halsepelemerepresentasikantidaktertanamnyanilai-nilaipancasiladalamjiwawarga Negara kita. Sehinggatelahmenjadisebuahkeharusan, bahwapeneguhannilai-nilaipancasilaadalahtanggungjawabkitabersama,” tutur mantan wakil ketua DEMA-U periode 2011-2012 ini.
Maka pada OPAK 2012sengajamengambiltemaPancasila. Hal inidilatarbelakangiolehkegelisahandankekhawatiranakankondisipancasilasebagaipilarbangsa yang kianmerosot. Dengansemangatmenanamkan rasa nasionalismedanpatriotisme, kami berharapmahasiswa-mahasiswibaruininantinyabenar-benarmenjadigenerasiululalbab yang selaluberada di gardaterdepandalammengawalpancasilasebagaipilarbangsaini.
Tags:
Wawancara